Sitijenarnews.com Senin 5 September 2022; Pemerintah memutuskan untuk melakukan penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis pertalite, solar, dan pertamax. Kebijakan tersebut berlaku sejak Sabtu, 3 September 2022, pukul 14.30 WIB.
Adapun harga pertalite naik dari Rp7.650 per liter menjadi Rp10 ribu per liter. Kemudian solar subsidi dari Rp5.150 per liter menjadi Rp6.800 per liter, dan pertamax dari Rp12.500 menjadi Rp14.500 per liter.
Kebijakan ini dilakukan oleh pemerintah terhadap harga ketiga jenis BBM tersebut, karena nilai subsidi energi mencapai Rp502,4 triliun, atau meningkat Rp349,9 triliun dari anggaran awal sebesar Rp152,1 triliun untuk menahan lonjakan harga energi di masyarakat.
Sementara Terkait hal ini Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) Faisal Rachman juga mengungkapkan, terdapat tiga poin penting atau dampak naiknya BBM jenis pertalite, solar, dan pertamax terhadap Outlook Ekonomi 2022. Penyesuaian harga BBM ini tentu saja akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan suku bunga acuan.
Pertama, kenaikan harga ketiga jenis BBM berisiko dapat memangkas pertumbuhan ekonomi sampai dengan 0,33 ppt. Faisal menyampaikan, hingga semester I-2022, ekonomi Indonesia mampu tumbuh sebesar 5,23 persen didukung oleh naiknya mobilitas setelah pelonggaran PPKM, bansos dari pemerintah, dan kinerja ekspor yang tinggi di tengah naiknya harga komoditas unggulan.
“Dengan demikian, kami masih melihat ekonomi Indonesia masih dapat tumbuh di kisaran lima persen secara full-year pada 2022 ini,” ujar Faisal Rachman dalam keterangan resmi, Minggu, 4 September 2022.
Kemudian yang kedua, kenaikan harga ketiga jenis BBM tersebut akan memicu naiknya inflasi. Berdasarkan hitungan BMRI, kenaikan harga pertalite sebesar 30,72 persen dan pertamax sebesar 16,00 persen tersebut secara total akan menyumbang inflasi sebesar 1,35 ppt. Sementara itu, kenaikan harga solar sebesar 32,04 persen akan berkontribusi sebesar 0,17 ppt pada tingkat inflasi.
“Hitungan ini sudah memperhitungkan first round impact atau dampak kenaikan harga ketiga jenis BBM tersebut secara langsung, dan second round impact atau dampak lanjutan pada inflasi seperti naiknya harga jasa transportasi, distribusi, hingga kenaikan sebagian harga barang dan jasa lainnya,” jelasnya.
Dengan demikian, BMRI memprediksikan inflasi pada akhir 2022 akan berada pada kisaran 6,27 persen, atau lebih tinggi dari angka proyeksi awal yang sebesar 4,60 persen. Sementara itu, inflasi inti diperkirakan akan berada pada kisaran 4,35 persen pada akhir tahun ini.
Faisal memberikan catatan, hanya terdapat empat bulan berjalan di sisa tahun ini sehingga dampak dari second round impact masih akan berlanjut pada 2023, terutama pada semester pertama. Hal ini disebabkan adanya kondisi sticky price atau harga beberapa barang dan jasa yang cenderung lambat terhadap penyesuaian harga.
“Oleh sebab itu, kami melihat inflasi pada 2023 berpotensi akan berada pada kisaran 3,50 persen sampai 4,00 persen” ujar Faisal.
Selanjutnya yang ketiga, suku bunga acuan dapat naik lebih tinggi dibandingkan perkiraan awal. Faisal mengatakan, kenaikan inflasi umum ke kisaran 6,27 persentahun ini dan inflasi inti ke atas target range akan mendorong Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan suku bunga acuan atau BI7DRRR sebesar maksimal 100 bps ke 4,75 persen pada sisa tahun.
Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan asumsi awal BMRI yang sebesar 50 bps ke 4,25 persen sebelum adanya kenaikan BBM bersubsidi. “Kenaikan inflasi yang berlanjut ke semester I-2023 juga akan membuka peluang BI untuk melanjutkan kenaikan suku bunga acuan pada awal 2023,” tutupnya.
(Red/Tim-Biro Pusat Sitijenarnews)