Berikut Dibawah ini adalah Fakta Sejarah 3 Korban Politik Adu Domba di era Belanda, dari Sultan Hasanuddin hingga Sultan Ageng Tirtayasa

Sitijenarnews.Com Selasa 5 April 2022; KETIKA menjajah Indonesia selama ratusan tahun, Belanda melancarkan serangkaian taktik politik untuk menguasai Nusantara. Salah satunya ialah taktik devide et impera, yang berarti “pecah dan berkuasa”, atau dikenal juga sebagai politik adu domba.

Sultan Hasanuddin

Taktik ini memiliki tujuan untuk mencegah berkembangnya kelompok kecil menjadi sebuah kelompok yang lebih besar dan kuat. Dengan memecah belah kelompok, Belanda akan lebih mudah menguasai daerah yang ingin dijajah. Beberapa kerajaan di Nusantara terkena taktik ini. Berikut adalah tokoh-tokoh korban politik adu domba Belanda.

 

1.Sultan Ageng Tirtayasa

 

Sultan Ageng Tirtayasa memimpin Kesultanan Banten dari tahun 1651 sampai 1680. Di bawah pemerintahannya, Banten maju pesat di bidang perekonomian, politik, pelayaran, perdagangan, dan kebudayaan. Sang Sultan juga banyak memimpin perlawanan terhadap Belanda.

 

Pada masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan dengan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka. Ketika terjadi sengketa antara dua putra Sultan Ageng, yakni Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda bersekutu dengan Sultan Haji. Dengan taktik politik adu domba, Belanda mengadu domba Sultan Haji dengan Sultan Ageng Tirtayasa yang anti kompeni.

 

Taktik itu berhasil membuat kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa lumpuh. Ia ditangkap dan dipenjarakan di Batavia hingga wafat pada tahun 1692. Sejak itu Kesultanan Banten mulai mengalami kemunduran karena terpengaruh oleh kompeni Belanda.

 

2.Sultan Hasanuddin

 

Sultan Hasanuddin merupakan Sultan Kerajaan Makassar yang memerintah pada 1653 sampai 1669. Ia dikenal sebagai sosok yang gagah, berani, dan pandai berdagang. Kerajaan Makassar yang merupakan gabungan Kerajaan Gowa dan Tallo mencapai masa keemasannya pada masa pemerintahan Sultan Hasannudin. Ia berhasil menguasai Wajo, Soppeng, Ruwu, dan Bone.

Baca juga:  Petugas Gabungan TNI Dan Polri Lakukan Penggeledahan Rutan Kelas IIIB.

 

Semasa kepemimpinannya, ia menolak kehadiran serta permintaan VOC untuk melakukan monopoli perdagangan. Menganggap Kerajaan Makassar sebagai ancaman dan pesaing dalam pelayaran dan perdagangan di wilayah timur, VOC kemudian membangun siasat politik adu domba. VOC berpura-pura membangun hubungan baik dan saling menguntungkan dengan Kerajaan Makassar. Setelah disambut baik, VOC langsung memberikan tuntutan, namun langsung ditentang oleh Sultan Hasannudin.

 

Politik adu domba yang dilancarkan Belanda juga berdampak pada terjadinya pertempuran Sultan Hasanuddin dengan Arung Palakka yang bersekutu dengan VOC, pada 1666 sampai 1667. Hal itu yang kemudian membuat Sultan Hasanuddin harus menandatangani Perjanjian Bongaya yang memaksa Sultan Hasanuddin tunduk.

 

3. Kaum Padri dan Kaum Adat

 

Pada tahun 1800-an, di Sumatera Barat terdapat dua kubu, yakni kaum Padri dan kaum Adat. Kaum Padri dipimpin oleh tokoh yang mengikuti ajaran Islam kuat, seperti Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik. Sementara kaum Adat kuat mengikuti tradisi leluhur dan adat istiadat, dipimpin oleh Sultan Arifin Muningsyah dari Kerajaan Pagaruyung. Pertentangan antara dua kubu ini terjadi saat kaum Padri berusaha memurnikan ajaran Islam dari segala bentuk adat istiadat yang bertentangan dengan Islam.

 

Perang saudara pun pecah, yang kemudian dimenangkan oleh kaum Padri. Tak tinggal diam, kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda. Belanda menerapkan siasat adu domba agar kaum Adat terus melawan kaum Padri.

 

Sadar akan politik adu domba Belanda, kedua kubu bersatu untuk melawan Belanda pada 1833. Sayangnya Belanda saat itu telah memperkuat pertahanan sehingga banyak pemimpin kaum Padri maupun kaum Adat yang gugur.

 

(Red/Tim-Biro Pusat Sitijenarnews)

error: