Berikut dibawah ini adalah paparan lengkap tentang Polemik Hukuman Mati bagi Pelaku Korupsi Di Indonesia

Sitijenarnews.Com Jakarta Rabu 6 April 2022; Wacana hukuman mati bagi pelaku korupsi (koruptor) yang merugikan keuangan negara dengan nilai lebih dari Rp100 miliar, memunculkan berbagai polemik dari berbagai pihak. Ada yang setuju, ada pula yang lebih menginginkan koroptur dihukum berat dan dimiskinkan.

Polemik Hukuman Mati Pelaku Korupsi

Wacana hukuman mati bagi koruptur lebih dari Rp100 miliar ini awalnya datang dari Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Gerindra, Habiburokhman. Dia mengusulkan agar jaksa menuntut mati atau seumur hidup terhadap para pelaku tindak pidana korupsi, khususnya korupsi yang merugikan keuangan negara dengan nilai besar.

 

“Mungkin nanti dikategorisasi saja, dibikin standar, di atas Rp100 miliar tuntutannya hukuman mati atau seumur hidup, dibikin kategorisasi,” ujar Habiburokhman saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR RI dengan Kejaksaan Agung (Kejagung), belum lama ini.

 

Menanggapi wacana ini, Ketua LSM Fatwa Langit Singkawang, Em Abdurrahman mengaku sangat setuju jika koruptor kelas kakap dihukum mati.

 

“Positif, koruptor kakap terstruktur dan sistemik memang pantas dihukum mati,” katanya.

 

Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) juga mendukung penuh usulan hukuman mati atau seumur hidup bagi pelaku korupsi di atas Rp100 miliar. Hukuman itu dinilai setimpal bagi para penyunat duit negara.

“Setuju, kita sudah level darurat korupsi siaga satu,” kata Koordinator MAKI, Boyamin Saiman.

Dia menyakini hukuman berat mampu memberikan efek jera. Sehingga, praktik pencurian uang rakyat bisa dibasmi.

“Hanya dengan hukuman keras maka korupsi bisa diberantas,” ungkap dia.

Menurutnya, usulan tersebut harus ditindaklanjuti dengan revisi Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Hukuman pelaku korupsi selama ini tergolong ringan.

“UU lama hukuman lembek karena yang paling berat saja ancaman (penjara) minimal empat tahun,” ucap Boyamin.

Dia pun meminta sanksi pelaku korupsi ditingkatkan. Minimal, koruptor dihukum 20 tahun penjara.

“Mestinya minimal 20 tahun, terus seumur hidup, dan mati,” ujar dia.

Kepala Sekolah Anti Korupsi, Sri Haryanti mengatakan, korupsi memberikan dampak yang sangat besar bagi masyarakat yang menjadi korban. Terdapat hak-hak masyarakat yang hilang akibat korupsi. Maka dari itu koruptor sudah seharusnya dihukum berat.

“Maka, hukuman berat bagi koruptor adalah sebuah keharusan, namun hukuman mati bukan satu-satunya pilihan,” tegasnya.

Menurutnya, hukuman mati bagi pelaku korupsi memang dimungkinan. Pasal 2 ayat 2 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara eksplisit menyebutkan bahwa hukuman mati dapat dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu.

Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan keadaan tertentu adalah apabila tindak pidana dilakukan ketika negara berada dalam keadaan bahaya, terjadi bencana alam, mengulang tindak pidana korupsi, atau negara dalam keadaan krisis ekonomi dan monoter.

“Selain itu terdapat unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam menjatuhan hukuman mati sebab tidak bisa sembarangan diterapkan,” jelasnya.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan rata-rata vonis hukuman mati bagi koruptor pada 2018 hanya dua tahun lima bulan penjara. Merujuk dari temuan tersebut kemudian pemberian efek jera sebagai salah satu alasan hukuman mati, bahkan Presiden Jokowi pun sempat melontarkan wacana tersebut.

Dalam kasus terbaru yaitu bansos, Ketua KPK diawal penangkapan sempat mengeluarkan pertanyaan terkait hukuman mati terhadap terdakwa kasus korupsi bansos, namun nyatanya tidak dilakukan, karena penjatuhan hukuman mati tidak dapat diterapkan sembarangan.

Baca juga:  Lakantas di Jalur Pantura Siang Ini; Avanza vs Truck Adu Moncong di Depan Wisata Bentar Probolinggo Satu Pengemudi Tewas Di TKP

Menurut dia, rencana vonis mati terhadap koruptor memang menjadi permasalahan dalam upaya pemberantasan korupsi, tapi hukuman mati bagi koruptor bukan hukuman yang patut. Terlebih hukuman mati dijadikan alasan untuk menimbulkan efek jera.

Bahkan hukuman mati tidak pernah terbukti menurunkan tingginya kejahatan. Negara-negara dengan peringkat indeks persepsi korupsi (IPK) terbaik pun tidak menerapkan hukuman mati bagi koruptor, seperti Denmark, Selandia Baru, Firlandia, Singapura, dan Swedia. Adapun Cina, sebagai negara yang dikenal cukup keras menerapkan hukuman mati, justru berada pada peringkat rencah dalam IPK.

Studi hukuman mati seperti di Kanada tidak menimbulkan efek jera karena lebih mencerminkan kegagalan sistem pemerintahan termasuk pencegahan. 143 negara mengakhiri eksekusi hukuman mati dan itu adalah negara penandatangan konvensi antikorupsi.

 

Bahkan studi di California, Amarika Serikat yang mengatakan bahwa pelaksanaan hukuman mati lebih mahal dari hukuman seumur hidup. Sebab, saat peraktiknya banyak tenaga sumber daya disiapkan seperti pengamanan, proses, dan sebagainya.

Selain itu metode hukuman mati juga adalah hukuman yang kejam dan tak manusiawi, karena tidak ada lagi harapan bagi terpidana untuk memperbaiki kejahatannya. Selain alasan tersebut pemberian hukuman mati juga bertentangan dengan ketentuan internasional hak asasi manusia terutama Pasal 3 DUHAM yaitu hak untuk hidup.

Menurut Sri Haryanti, ada langkah penegakan hukum lainnya yang lebih pantas terhadap pelaku tindak pidaha korupsi. Pertama, penjatuhan hukuman maksimal selama 20 tahun atau seumur hidup. Kedua, pencabutan hak politik, yakni hilangnya hak untuk memilih dan atau dipilih dalam pemilihan umum.

Ketiga, pemiskinan koruptor, dengan memaksimalkan penggunaan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang oleh penegak hukum untuk merampas asset koruptor.

“Langkah-langka pemberian hukuman bagi pelaku tindak pidaha korupsi pun tentu harus dilaksanakan secara jelas dan transparan agar tetap sejalan dengan hak asasi manusia dengan tidak melupakan dampak secara lebih luas akibat terjadinya tindak pidana korupsi,” tutupnya.

Sementara, Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada atau Pukat UGM justru mendorong koruptor dimiskinkan daripada dihukum mati. Sebab, implementasi hukuman mati dinilai masih problematik.

Hukuman mati memang telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (tipikor). Namun, dalam proses penegakannya tidak ada koruptor yang dijatuhi hukuman mati.

“Kami menilai terobosan lain untuk memberi efek jera pada pelaku korupsi adalah dengan dimiskinkan. RUU Perampasan Aset punya instrumen untuk itu,” kata Peneliti Pukat UGM, Yuris Rezha Kurniawan.

Yuris mengatakan RUU Perampasan Aset setelah diundangkan dapat memungkinkan para penegak hukum untuk merampas aset-aset milik pejabat publik yang tidak dapat mempertanggungjawabkan kekayaannya, khususnya secara legal. Dia mempertanyakan mengapa rancangan aturan tersebut tidak didorong pembahasannya oleh DPR dan pemerintah.

Yuris berasumsi pembahasan RUU Perampasan Aset tidak ditindaklanjuti, karena lemahnya komitmen pembuat UU. Dia mengeklaim adanya indikasi kekhawatiran jika RUU Perampasan Aset kemudian disahkan.

“Karena dapat mempersulit beberapa pejabat yang ingin memperkaya diri sendiri dengan cara yang tidak sah,” ujar Yuris.

Sita Aset

Menanggapi usulan hukuman mati bagi koruptor ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga telah angkat suara. KPK setuju dengan pemberian hukuman berat.

“Para pelaku korupsi dihukum berat sebagai efek jera tentu kami sepakat,” kata Plt Juru Bicara Bidang Penindakan KPK, Ali Fikri melalui keterangan tertulis, Senin (28/3).

Baca juga:  Pensiunan PNS. TNI-Polri Tak Perlu Repot Urus Dana Pensiun, Mulai Juli Bisa via Online

Ali menekankan KPK selalu sepakat jika ada permintaan koruptor untuk dihukum seberat-beratnya. Namun demikian, tuntutan maupun putusan terhadap suatu perkara harus berdasarkan azas landasan hukum yang sesuai dengan UU. Termasuk soal ancaman hukuman mati.

“Para pelaku korupsi dihukum berat sebagai efek jera tentu kami sepakat, namun jaksa dalam menuntut terdakwa maupun hakim ketika memutus harus ada landasan normatifnya. Ancaman hukuman mati saat ini sudah jelas ada diatur secara normatif di dalam UU Tipikor,” ujar Ali Fikri.

Dia menjelaskan bahwa ancaman hukuman mati terhadap para pelaku tindak pidana korupsi telah diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Di mana, kriteria ancaman hukuman mati bagi koruptor, tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Tipikor.

“Dan perlu kami sampaikan, kebijakan pemidanaan KPK saat ini tidak hanya memenjarakan pelaku korupsi namun juga lebih fokus terkait bagaimana aset hasil korupsi dapat kembali pada negara sebagai bagian dari upaya efek jera,” imbuhnya.

KPK membuka peluang menuntut hukuman mati terhadap para pelaku korupsi jika kriteria Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Tipikor terpenuhi. Namun demikian, upaya pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi juga penting untuk dimaksimalkan.

“Upaya yang dilakukan melalui optimalisasi peran unit Asset Tracing pada Direktorat Pengelolaan Barang bukti dan Eksekusi/ Labuksi maupun unit Forensic Accounting pada Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi dalam mensupport kerja sejak pada proses penyelidikan penyidikan hingga penuntutan,” pungkasnya.

 

Hasil Survei

Di lain pihak, Lembaga Indikator Politik Indonesia belum lama ini merilis hasil survei terbaru berjudul “Trust Terhadap Institusi Politik, Isu-isu Mutakhir dan Dinamika Elektoral Jelang Pemilu Serentak 2024”. Salah satu yang dibahas terkait persepsi publik terhadap hukuman mati bagi koruptor kelas kakap dan gembong narkoba.

Survei menyimpulkan, mayoritas masyarakat menginginkan hukuman mati dilakukan bagi keduanya. Tingkat dukungan pun tercatat tinggi, sebesar 84 persen untuk koruptor kelas kakap dan 85.5 persen untuk gembong narkoba.

“Hukuman mati terhadap koruptor kelas kakap dan gembong narkoba sangat kuat didukung warga nasional,” ucap Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, dalam paparan survei secara virtual, Minggu (3/4).

“Sekitar 84 persen setuju/sangat setuju koruptor kelas kakap dihukum mati, dan sekitar 85.5 persen setuju/sangat setuju gembong narkoba dihukum mati,” lanjutnya.

Sebaliknya, tingkat ketidaksetujuan masyarakat terlihat rendah yakni sebesar 11,7 persen untuk koruptor kelas kakap dan 11,1 persen untuk gembong narkoba.

“Kurang setuju bagi koruptor kelas kakap 10 persen, gembong narkoba 9.2 persen. Tidak setuju sama sekali 1.7 persen (koruptor kelas kakap) dan 1.9 persen (gembong narkoba),” kata dia.

Burhan pun menilai bahwa hukuman mati bagi para gembong narkoba sudah dilakukan penegak hukum, namun hukuman mati belum pernah diberikan bagi koruptor besar di Indonesia.

“Untuk gembong narkoba sudah sering kita dengar (dihukum mati). Gembong narkoba itu dituntut maksimal bahkan sudah ada yang dieksekusi. Tapi untuk koruptor kelas kakap sebaliknya,” tandasnya.

Survei yang melibatkan 1.200 responden yang tersebar di seluruh Indonesia ini berlangsung pada 11-21 Februari 2022. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara secara tatap muka.

Adapun toleransi kesalahan (margin of error) survei diperkirakan sekitar ±2.9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Baca juga:  40 Ribu Hektar Kawasan TNTN Berubah jadi Sawit, Kepala Balai Keluarkan Aturan

 

Jaksa Agung: Efek Jera Sekaligus Upaya Preventif

Jaksa Agung, Burhanuddin menyatakan, penerapan hukuman mati bagi koruptor perlu dikaji lebih dalam untuk memberikan efek jera.

Ia menyebutkan, tuntutan hukuman kepada terdakwa korupsi tidak hanya berorientasi sebagai bentuk penghukuman semata.

“Hal ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera sekaligus sebagai upaya preventif penegakan hukum di bidang tindak pidana korupsi,” kata Burhanuddin di acara virtual bertajuk “Mengangkat Marwah Kejaksaan, Membangun Adhyaksa Modern”, belum lama ini.

Selain itu, kejaksaan berkomitmen mengembalikan kerugian negara yang diakibatkan oleh koruptor.

“Kejaksaan juga berkomitmen untuk mengembalikan kerugian negara yang timbul dari tindak pidana korupsi pada para pelaku,” ucapnya.

Pada kesempatan berbeda, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak juga menyatakan membuka peluang kemungkinan untuk memberikan hukuman mati kepada para tersangka tindak pidana korupsi.

Kejagung memberikan contoh untuk kasus Jiwasraya dan Asabri yang menimbulkan kerugian negara masing-masing hingga Rp16,8 triliun dan Rp22,78 triliun.

Menurutnya kasus tipikor tersebut tidak hanya menimbulkan kerugian yang besar, tetapi juga berdampak luas kepada masyarakat.

Hal tersebut disampaikan Kepala Pusat Penerangan Hukum, Leonard Eben Ezer Simanjuntak saat briefing bersama Kajati, Wakajati, para Kajari dan Kacabjari dalam rangka kunjungan kerja di Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah, belum lama ini.

“Hak pegawai dan prajurit di kasus Asabri terganggu. Padahal ada harapan besar untuk masa pensiun dan untuk masa depan keluarga mereka di hari tua,” ujarnya saat briefing bersama Kajati, Wakajati, para Kajari dan Kacabjari dalam rangka kunjungan kerja di Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah.

Seperti diketahui, sejumlah aset dari dua kasus ini juga berada di Kalbar. Dalam hal itu, Kejaksaan Tinggi Kalbar juga turut membantuk dalam pelaksanaan penyitaan.

Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Kalbar, Pantja Edy Setiawan mengatakan, terlepas dari diterapkan atau tidaknya hukuman mati bagi pelaku korupsi, namun pihaknya akan tetap mendukung dalam upaya penindakan dan perampasan aset tersebut.

“Seperti yang sebelum-sebelumnya, sudah ada beberapa hasil dukungan kita terhadap pengamanan dan kemudahan dalam perampasan aset kasus tersebut di Kalbar,” ujarnya.

Diketahui, Kejati Kalbar sempat membantu dalam penyitaan aset milik tersangka PT Asabri, Benny Tjokosaputro dan Heru Hidayat di Pontianak. Di antaranya empat bidang tanah yang di atasnya berdiri bangunan Mal Matahari dan Hotel Maestro Pontianak serta dua bidang tanah lainnya dengan masing-masing luas 166 meter persegi dan 159 meter persegi.

Selain itu, terdapat tiga aset berupa hamparan tanah tersangka yang saat ini masih dalam proses penyitaan. Lokasinya di Desa Peniti Luar, Desa Sungai Purun Besar dan Desa Sungai Burung Kabupaten Mempawah.

Sementara itu, untuk aset yang disita milik Heru Hidayat, berupa dua bidang tanah dengan total luas 1.042. Pertama satu bidang tanah seluas 660 meter persegi yang berada di Kelurahan Benua Melayu Darat, Kecamatan Pontianak Selatan, Kota Pontianak dengan pemegang hak PT Inti Kapuas Arowana, Tbk.

Kedua, satu bidang tanah seluas 382 meter persegi yang terletak di Kelurahan Bangka Belitung, Kecamatan Pontianak Selatan, Kota Pontianak dengan pemegang hak atas naman Susanti Hidayat.

 

“itulah bentuk-bentuk dukungan kita dalam membantu dan memudahkan pengaman dan penyitaan aset,” jelasnya.

 

(Red/Tim-Biro Pusat Sitijenarnews)

error: