Dampak Himbauan Tegas Jaksa Agung; Sampai hari ini Kejaksaan Sudah Hentikan 1.334 Perkara Berdasarkan Restorative Justice kata Jaksa Agung Kedepannya capaian ini haruslah lebih ditingkatkan lagi

Sitijenarnews.com Jakarta Minggu 17 Juli 2022; Jaksa Agung ST Burhanuddin menyampaikan salah satu fokus pembangunan hukum di Indonesia saat ini berkaitan dengan restorative justice. Kejaksaan telah menghentikan penuntutan terhadap ribuan kasus atas dasar restorative justice tersebut.

Jaksa Agung ST Burhanuddin bicara soal penegakan hukum berbasis restorative justice. Hal itu ia sampaikan dalam webinar diskusi bersama praktisi hukum dengan tema ‘Restorative Justice, Apakah Solutif?’, yang digelar oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Dalam pemaparannya, Jaksa Agung mencoba menjawab pertanyaan dalam tema tersebut. Dia mengatakan, sistem peradilan pidana dan pemidanaan di Indonesia saat ini secara umum masih dominan bersifat retributif. Penegakan hukum menitikberatkan pada penghukuman pelaku, sehingga penegakan hukum yang dilakukan kadang menimbulkan kegaduhan di masyarakat.

“Sampai saat ini, Kejaksaan telah melaksanakan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif terhadap 1.334 perkara tindak pidana umum dari total 1.454,” kata Burhanuddin dalam keterangannya, Sabtu (16/7).

 

Burhanuddin mengatakan, jaksa memiliki kewenangan untuk menentukan apakah sebuah kasus bisa lanjut ke pengadilan untuk dilakukan penuntutan atau tidak. Restorative justice dijadikan landasan untuk menentukan itu.

 

“Kejaksaan sebagai pengendali perkara mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak,” ujar dia.

 

Dia mengatakan, Kejaksaan harus mampu menyeimbangkan antara aturan yang berlaku dengan interpretasi hukum yang bertumpu pada tujuan kemanfaatan.

 

Artinya suatu perkara jika diajukan ke Pengadilan tidak hanya semata-mata berdasarkan pelanggaran hukum, namun juga difokuskan pada kemanfaatannya bagi masyarakat.

Di sisi lain, penerapan restorative justice ini sangatlah selektif. Dia mengungkapkan sejumlah syaratnya:

  • Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;
  • Tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun; dan
  • Tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp 2.500.000.

Syarat tersebut tertuang dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Burhanuddin mengatakan, dalam penerapan restorative justice ini pun, Kejaksaan melibatkan unsur masyarakat dalam upaya perdamaian antara korban dengan pelaku. Dalam prosesnya, selain ada korban dan pelaku, juga ada tokoh perwakilan masyarakat. Mereka akan berada di satu wadah yakni Rumah Restorative Justice (RJ).

Baca juga:  Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menyebut para koruptor yang mengambil uang rakyat dinilainya sosok yang sudah kehilangan sisi kemanusiaan dan putus urat malunya

“Rumah RJ akan berfungsi sebagai wadah untuk menyerap nilai-nilai kearifan lokal serta menghidupkan kembali peran serta tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat untuk bersama-sama dengan Jaksa dalam proses penyelesaian perkara yang berorientasikan pada perwujudan keadilan subtantif,” ujar Burhanuddin.

 

Penegakan hukum yang dilakukan cenderung mengabaikan kemanfaatan dan tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat,” kata Burhanuddin dalam keterangannya, Sabtu (16/7).

Burhanuddin mencontohkan penanganan kasus yang buat gaduh dan menciderai nilai serta rasa keadilan di masyarakat. Contoh kasusnya yakni Nenek Minah dan Kakek Samirin.

Nenek Minah merupakan mantan terpidana kasus pencurian. Dia didakwa melakukan pencurian tiga buah kakao kemudian divonis 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan tiga bulan.

Kemudian kasus Kakek Samirin, dia didakwa mencuri getah karet seharga Rp 17 ribu dan divonis 2 bulan 4 hari. Padahal keduanya terpaksa karena untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Burhanuddin mengatakan, masyarakat tidak menghendaki keduanya untuk dihukum. Bahkan pada umumnya, kata Burhanuddin dalam proses penegakan hukum beberapa perkara, cenderung mengabaikan kepentingan pemulihan hak korban.

“Sebenarnya kegaduhan penegakan hukum pada kasus nenek Minah dan kakek Samirin bukanlah kesalahan dari aparat penegak hukum karena secara teknis hukum dan pemenuhan alat bukti,” ucapnya.

Hukum acara yang terjebak dengan kekakuan pemenuhan kepastian hukum, namun lalai dalam mewujudkan keadilan dan kemanfaatan,” sambung dia.

Oleh karenanya, seiring dengan berjalannya waktu, Burhanuddin menyampaikan dalam rangka mengakomodir pergeseran nilai keadilan masyarakat tersebut, saat ini telah berkembang alternatif penyelesaian perkara dan pemidanaan yang menitikberatkan pada pentingnya solusi untuk memulihkan keadaan korban.

Selain itu, alternatif itu juga merekonsiliasi para pihak dan mengembalikan harmoni pada masyarakat dengan tetap menuntut pertanggungjawaban pelaku. Alternatif ini dikenal sebagai restorative justice.

Baca juga:  WASPADALAH BANJIR ROB di SEPANJANG PANTURA Diprediksi Akan Kembali Terjadi Lagi pada 13 - 16 Juni 2022, dan ini diperkirakan akan Bisa Lebih Dahsyat dari tahun kemarin

“Keadilan restoratif menjadi solusi di mana kepentingan atau hak korban diutamakan dalam penyelesaian perkara. Dalam hal ini perbaikan keadaan korban dan pemberian maaf dari korban menjadi faktor penentu penyelesaian perkara. Selain itu, di sisi lain tetap memperhatikan kondisi tertentu dari pelaku kejahatan sebagai bahan pertimbangan penyelesaian perkaranya,” ujar Burhanuddin.

Dalam pelaksanaannya, Burhanuddin menyampaikan bahwa penegakan hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan melalui pendekatan keadilan restoratif ini dapat menyeimbangkan kepentingan pemulihan keadaan dan hak korban.

“Juga memperbaiki diri pelaku yang hasilnya mampu wewujudkan keadilan yang memperbaiki keadaan masing-masing pihak sehingga hal ini sejalan dengan rasa keadilan masyarakat serta tidak lagi ditemukan penegakan hukum yang tidak berkemanfaatan,”pungkasnya.

 

(Red/Tim-Biro Pusat Sitijenarnews)

error: