Sitijenarnews.com Jakarta, Minggu 17 Agustus 2025 — Krisis gula nasional kembali menyeruak. Ribuan ton gula hasil panen petani menumpuk di gudang pabrik tanpa bisa terjual, sementara pasar domestik justru dibanjiri gula rafinasi impor. Situasi ini membuka kembali dugaan adanya praktik mafia rafinasi yang telah lama menghantui tata niaga gula di Indonesia.
Anggota Komisi VI DPR RI Fraksi PKB, Nasim Khan, menegaskan bahwa kondisi ini bukan sekadar persoalan teknis distribusi, melainkan indikasi kuat adanya permainan mafia yang dibiarkan tumbuh subur. “Bagaimana mungkin gula rakyat menumpuk di gudang, sementara di pasaran harga tetap tinggi dan justru dipenuhi gula rafinasi? Ada yang tidak beres dalam tata kelola,” ujarnya.
Hasil penelusuran di lapangan memperlihatkan pola permainan yang berulang. Gula rafinasi, yang seharusnya hanya diperuntukkan bagi industri makanan dan minuman, justru bocor ke pasar konsumsi rumah tangga. Praktik “rembesan” ini membuat gula rakyat tidak terserap, karena pasar lebih memilih gula rafinasi yang dijual dengan harga lebih murah.
Dalam praktiknya, mafia memanfaatkan celah regulasi impor. Kuota gula rafinasi yang diberikan untuk industri diduga melebihi kebutuhan riil, sehingga sisanya dialihkan ke pasar umum. Mekanisme pengawasan yang lemah membuat praktik ilegal ini sulit dibendung.
“Ini jelas permainan sistematis. Mafia mendapatkan keuntungan ganda, sementara petani tebu kita yang menjadi korban. Pemerintah tidak boleh menutup mata,” tegas Nasim Khan.
Data Penumpukan dan Kerugian:
Kondisi kritis tercermin dari data penumpukan gula rakyat di sejumlah pabrik gula:
PG Prajekan, Bondowoso: 4.600 ton gula belum terjual, setara Rp60 miliar.
PG Assembagoes, Situbondo: 5.000 ton gula tertahan di gudang, senilai Rp50 miliar.
PG Panji, Situbondo: 2.500 ton gula menumpuk, nilainya Rp36 miliar.
PG Wringin Anom, Asembagus: 3.900 ton gula tidak terserap selama delapan periode terakhir.
Total, lebih dari 16.000 ton gula bernilai ratusan miliar rupiah kini terbengkalai. Jika kondisi ini dibiarkan, kerugian bisa membengkak hingga triliunan rupiah secara nasional, mengingat musim giling masih berlangsung.
Kerugian ini bukan hanya berupa angka. Banyak petani terpaksa menjual aset pribadi atau berutang dengan jaminan tanah demi menutup biaya operasional. Modal yang seharusnya diputar kembali untuk musim tanam berikutnya lenyap.
Pabrik gula pun berada di ambang krisis. Gudang penyimpanan penuh, biaya sewa gudang tambahan meningkat, dan kualitas tebu terancam menurun karena tidak segera diolah. Dalam jangka panjang, jika pabrik tidak mampu menanggung beban, ada potensi pengurangan tenaga kerja yang berdampak langsung pada ribuan buruh tani dan pekerja pabrik.
“Ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal kemanusiaan. Petani kecil kita dipaksa menanggung beban permainan mafia yang rakus,” kata Nasim.
Selain merugikan petani, praktik mafia rafinasi juga berimplikasi pada hilangnya potensi penerimaan negara. Dengan bocornya gula rafinasi ke pasar umum, negara kehilangan pungutan pajak dan retribusi dari tata niaga yang seharusnya transparan. Jika dihitung secara kasar, kebocoran 10% dari kuota impor rafinasi saja bisa bernilai miliaran rupiah per tahun.
“Negara dirugikan, petani rugi, pabrik rugi. Yang untung hanya mafia. Ini harus segera dihentikan,” tegas Nasim Khan.
Nasim mendesak Kemenko Pangan, Kementerian Perdagangan, dan Satgas Pangan segera mengambil langkah investigasi menyeluruh. Ia juga meminta agar Presiden Prabowo Subianto turun tangan langsung, karena persoalan ini menyangkut nasib jutaan petani dan arah ketahanan pangan nasional.
“Atas nama petani tebu, saya memohon perhatian langsung dari Presiden. Jangan biarkan mafia mengendalikan tata niaga gula kita. Jika pemerintah tidak tegas, swasembada gula hanya akan jadi slogan tanpa makna,” pungkasnya.

Situasi penumpukan gula rakyat yang terjadi saat ini bukan sekadar anomali pasar, melainkan sinyal adanya kartel terorganisir dalam tata niaga pangan. Tanpa penindakan tegas, mafia rafinasi akan terus mengeruk keuntungan di atas penderitaan petani, sementara cita-cita swasembada pangan hanya akan menjadi ilusi.
(Red/Tim)