WARNING; Mulai hari ini Tidak Ada Lagi Debt Collector Bisa Ambil Paksa Motor dan Mobil dan Penjelasan lengkap tentang Legalitas Penggunaan Jasa Debt Collector Dalam Penagihan Utang

Sitijenarnews. Com Senin 30 Mei 2022; Untuk ke depannya, tidak akan ada lagi pihak penagihan dari industri multifinance yang bisa melakukan tindakan pemaksaan, kecuali oknum terkait merupakan debt collector non-resmi atau gadungan.

Berikut di bawah ini adalah paparan lengkap tentang Legalitas Penggunaan Jasa Debt Collector Dalam ruang konteks Penagihan Utang

Jaminan ini sebagaimana disampaikan oleh Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI). Menurut Ketua APPI, Suwandi Wiratno, saat ini perusahaan kian berhati-hati dalam melakukan pengawasan debt collector internal perusahaan maupun pihak ketiga di lapangan.

 

“Regulasi ini beriringan dan menjadi penegas aturan-aturan terkait industri pembiayaan lainnya, seperti POJK 35/2016 tentang perusahaan pembiayaan, juga soal eksekusi jaminan fidusia. Kami harus memastikan semua sesuai dengan prosedur, mengikuti aturan yang berlaku karena kalau kami yang salah, kami juga bisa diproses OJK,” katanya,pada Senin Siang (30/5/2022)

 

Ditegaskan Suwandi, debitur wanprestasi yang beriktikad baik pastinya didorong untuk mengembalikan unit dan menyudahi perjanjian kredit secara baik-baik. Jika debitur tidak berkenan mengembalikan unit maka, sesuai aturan, perusahaan selaku kreditur akan menempuh jalur hukum berdasarkan putusan pengadilan.

 

Meski begitu, penting diingat bahwa tidak ada untungnya bagi debitur yang jelas salah untuk menempuh jalur hukum. Pasalnya, mereka berpotensi terkena hukuman membayar biaya perkara, kerugian immateril, dan lain-lain.

 

Oleh sebab itu, akan lebih baik dengan berkomunikasi, mengupayakan pembicaraan untuk rescheduling atau restrukturisasi jika memungkinkan, atau penjualan unit bersama lewat lelang umum atau penjualan bawah tangan kalau benar-benar tidak mampu lagi membayar.

 

“Industri pembiayaan menyambut baik segala aturan terkait perlindungan konsumen, karena secara tidak langsung membuat kami semakin berhati-hati dalam menyalurkan pembiayaan. Kami sudah tergabung dengan SLIK OJK dan lembaga pencatatan aset Rapindo, jadi debitur yang tercatat punya riwayat nakal tidak akan punya kesempatan lagi untuk pembiayaannya diterima,” urainya.

 

Sementara Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK, Sarjito, menambahkan, debt collector yang melakukan hal-hal termasuk tindak pidana, bahkan bisa diproses secara hukum. Dalam hal ini, OJK punya wewenang berkoordinasi dengan lembaga kepolisian dan semua lembaga terkait untuk menegakkan asas perlindungan konsumen.

Baca juga:  Sudah waktunya Polri Terbuka atas semua Kasus yang ditangani; Berikut dibawah Ini Penampakan Luka Tembak di Tangan dan Penampakan Kaki Jenazah Brigadir J yang Lebam Disertai Luka Sayat Senjata TajamBrigadir J

 

“Kalau praktik merugikan sudah termasuk tindak pidana umum maka kami imbau juga agar konsumen memproses ke pihak kepolisian,” tuturnya beberapa waktu lalu, dalam sebuah diskusi virtual.

 

Saat berada dalam proses penagihan, debitur dapat memastikan bahwa debt collector yang bertugas menemuinya membawa kartu identitas, surat tugas dari perusahaan pembiayaan, sertifikat profesi di bidang penagihan dari Lembaga Sertifikasi Profesi bidang pembiayaan yang terdaftar di OJK, bukti dokumen debitur wanprestasi, dan salinan sertifikat jaminan fidusia.

 

Bagi debitur yang memiliki keluhan berkaitan proses penagihan maka bisa menempuh dua cara untuk mengajukan pengaduan. Pertama, melalui perusahaan pembiayaan terkait lewat internal dispute resolution dan jika dirasa belum cukup maka bisa mengadu ke Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS SJK) dengan melampirkan kronologi dan bukti dokumen pendukung.

 

Ditegaskan OJK, lembaga keuangan yang terbukti melanggar asas perlindungan konsumen bisa terkena sanksi administratif, seperti denda, pembatasan penjualan produk tertentu, pembekuan kegiatan usaha, sampai pencabutan izin usaha.

Sebelumnya juga Pernah diulas lengkap oleh Tim Awak Media Sitijenarnews tentang Legalitas Penggunaan Jasa Debt Collector Dalam Sebuah Penagihan Utang.

 

Yang mana Pada saat ini banyak lembaga pembiayaan dan bank yang menyelenggarakan pembiayaan bagi masyarakat Indonesia. Namun dalam pelaksanaannya, Debitur sering lalai dalam melaksanakan kewajibannya. Untuk mengatasi hal tersebut, lembaga pembiayaan dan bank sering kali menggunakan jasa penagih utang atau debt collector. Penggunaan jasa debt collector dalam proses penagihan sering kali menibulkan keresahan pada debitur. Tidak hanya pada Debitur, keberadaan debt colector juga membuat masyarakat terganggu. Hingga akhirnya Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan nomor 18/PUU-XVII/2019, dimana Putusan tersebut berisi mekanisme eksekusi obyek jaminan fidusia yang sebelumnya kreditur dapat mengesekusi secara mandiri jaminan fidusia, lalu diubah ketentuannya menjadi bahwa jaminan fidusia hanya dapat dieksekusi jika kreditur mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri untuk melakukan pengeksekusian jaminan fidusia.

Baca juga:  Sidang Di PN Tipikor Surabaya Terbaru Terkait Korupsi Dana Hibah: Wakil Ketua DPRD Jatim Diduga Terima Suap Rp39,5 M dalam kasus korupsi dana hibah Pokmas Jawa Timur

 

Dalam pelaksanaannya, penggunaan Jasa debt collector faktanya belum diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun pada prinsipnya, debt collector bekerja berdasarkan kuasa yang diberikan oleh kreditur dalam proses penagihan utang kepada debitur. Pemberian kuasa yang dimaksud harus sesuai dengan ketentuan pasal 1793 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) yang menyatakan bahwa kuasa dapat diberikan dan diterima dalam suatu, akta umum, dalam suatu tulisan bawah tangan, bahkan dalam sepucuk surat lisan.

 

Walaupun belum ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang pelaksaan penagihan hutang dengan jasa debt collector, tetapi jika mengacu pada Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran Bank Indonesia bahwa terdapat etika atau kewajiban yang harus dipatuhi oleh lembaga pembiayaan (Bank) dan/atau penyelenggara jasa debt collector dalam melakukan proses penagihan yang sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP tanggal 13 April 2009 Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dan perubahannya, yang berisi;

 

Dalam melakukan penagihan, debt collector menggunakan kartu identitas resmi yang dikeluarkan penerbit kartu kredit, yang dilengkapi dengan foto diri yang bersangkutan;

Penagihan dilarang dengan menggunakan cara ancaman, kekerasan dan/atau tindakan yang bersifat mempermalukan dll.

Penagihan tidak dilakukan dengan menggunakan tekanan secara fisik maupun verbal;

Penagihan dilarang dilakukan kepada pihak selain pemegang kartu kredit;

Jika penagihan dilakukan menggunakan sarana komunikasi, dilarang dilakukan secara terus menerus yang bersifat mengganggu;

Penagihan hanya dapat dilakukan di tempat alamat penagihan atau domisili pemegang kartu kredit;

Penagihan hanya dapat dilakukan pada pukul 08.00 sampai dengan pukul 20.00 wilayah waktu alamat pemegang kartu Kredit; dan

Penagihan di luar tempat dan/atau waktu tersebut di atas, hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan dan/atau perjanjian dengan pemegang kartu kredit terlebih dahulu.

Baca juga:  Ketua Umum LSM Siti Jenar Kembali Datangi Gedung Merah Putih KPK. Lakukan Audiensi Bersama Deputi Penindakan Buntut dari lambannya penanganan kasus Tersangka Korupsi di Situbondo Jatim

Sebagaimana terdapat etika yang harus di taati oleh debtcollector dalam proses penagihan utang, terdapat pula hal yang perlu diperhatikan bahwa penagihan yang menggunakan jasa debt collector hanya dapat dilakukan jika kualitas tagihan telah termasuk dalam kulitas kredit macet berdasarkan kriteria koletibilitas sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kualitas kredit. Dalam proses penagihan utang oleh jasa debt collector yang mendapat kuasa dari kreditur tidak diperbolehkan menyita paksa barang-barang milik debitur, karena pada hakikatnya penyitaan barang-barang milik debitur yang wanprestasi hanya bisa dilakukan atas dasar putusan pengadilan. Perbuatan debt collector yang menyita atau mengambil secara paksa barang-barang milik debitur, dapat dijerat dengan pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP);

 

“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”

 

Adapun terjadinya kekerasan atau terdapat ancaman pada saat proses penagihan oleh jasa debt collector, maka yang bersangkutan dapat di jerat dengan pasal 365 ayat (1) KUHP;

 

“Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri”

 

Berdasarkan penjelasan di atas, penggunaan jasa debt collector dapat digunakan oleh lembaga pembiayaan, tetapi tetap mengikuti aturan SEBI dan PBI yang berlaku dan tidak menlanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

 

Penulis By; Eko Febrianto Ketua Umum Lsm Siti Jenar Yang Juga Pimpinan Perusahaan Media Online dan Cetak Headline.news.info dan Sitijenarnews. Com

 

(Red/Tim-Biro Pusat Sitijenarnews.dan Headline. News. Info)

 

(Red/Tim-Biro Pusat Sitijenarnews)

error: