Sitijenarnews.Com Malang Jatim Selasa 8 Maret 2022; PENYELESAIAN perkara melalui mekanisme restorative justice atau keadilan restoratif dalam kasus tindak pidana korupsi dinilai bertentangan dengan undang-undang, kendatipun perkara korupsi itu hanya merugikan keuangan negara di bawah Rp50 juta. Demikian disampaikan Al Araf, pengajar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.
Menurutnya, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih mengatur pengusutan kasus korupsi jika pelaku mengembalikan kerugian keuangan atau perekonomian negara. Hal itu termaktub dalam Pasal 4 UU Pemberantasan Tipikor.
“Dia akan bertentangan dengan Pasal 4 Undang-Undang Tipikor itu sendiri yang sampai sekarang undang-undang ini masih eksis dan berlaku,” jelas Al Araf dalam webinar bertajuk Keadilan Restoratif: Apakah Korupsi Rp50 Juta Perlu Dipenjara, Selasa (8/3).
Sebelumnya, gagasan untuk menyelesaikan perkara korupsi ‘level ikan teri’ lewat jalur nonpidana penjara ditawarkan oleh Kejaksaan Agung. Al Araf berpendapat, niatan Kejagung bisa saja terealisasi jika hal itu merupakan keinginan pemerintah dan DPR dengan cara merevisi UU Pemberantasan Tipikor.
Kendati demikian, semangat revisi regulasi tersebut selama ini disuarakan masyakarat bukan pada me-restorativejustice-kan perkara korupsi. Menurutnya, masyarakat lebih menginginkan adanya revisi terkait ketimpangan hukum, terutama pidana penjara minimal bagi pelaku masyarakat yang lebih berat ketimbang pejabat.
“Kesimpulan saya, konsep restorative justice dalam kaitan kasus korupsi kurang tepat dan agak keliru karena dia akan bertentangan dengan UU Tipikor itu sendiri,” ujar Al Araf.
Di samping itu, kasus korupsi dana desa sebagai perkara yang dicontohkan oleh Kejagung bisa diselesaikan melalui mekanisme restorative justice juga dinilai bertentangan dengan fakta yang ada. Melansir data Indonesia Corruption Watch (ICW), Al Araf menyebut korupsi dana desa menempati peringkat pertama sebagai perkara terbanyak yang terjadi di Indonesia.
“Sehingga jika ada impunitas karena alasan restorative justice dalam konteks isu dana desa, misalnya, maka praktik korupsi dana desa akan semakin tinggi,” tandasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM-Pidsus) Supardi menyebut mekanisme restorative justice untuk kasus korupsi sampai sejauh ini belum diimplementasikan. Kalau pun ada perkara yang dihentikan, itu karena penyidik tidak menemui unsur kesengajaan dan niat jahat sama sekali.
“Jatuhnya nanti ke Pasal 140 Ayat (1) KUHP, bukan restorative justice bicaranya,” jelas Supardi.
Ia pun mengakui dasar hukum penerapan restorative justice untuk kasus korupsi di internal Kejaksaan belum memadai. Sebab, Peraturan Jaksa Agung saat ini belum mengatur korupsi sebagai perkara yang bisa diselesaikan secara restorative justice.
(Red/Tim-Biro Malang Jatim)