Welcome Back To Orba; Telah Kembali Tiba Suatu Masa Pemerintah baik di Pusat dan di Daerah takut akan Suara Rakyatnya Sendiri

Sitijenarnews.com Situbondo Jatim Sabtu 25 Juni 2022; Seperti kita ketahui dan kita sadari bersama Manusia memanglah diciptakan dengan keterbatasan, tetapi selalu membuat batasan untuk setiap keterbatasan. Francis Bacon yang terkenal sebagai filsuf asal Inggris memiliki kebiasaan buruk meminum minuman beralkohol, hingga akhirnya dia membuat batasan kapan harus fokus bekerja dan kapan waktu yang tepat untuk meminum minuman itu.

Penulis by; Eko Febrianto Ketua Umum LSM SITI JENAR yang Juga pimpinan Perusahan dan Redaksi Media Online dan cetak Sitijenarnews.com serta Headline.news.info

Albert Einstein selalu menyibukkan dirinya untuk mengembangkan teori relativitas dan teori mekanika kuantum yang diciptakannya. Einstein sangat tidak ingin diganggu saat mengembangkan teori-teorinya, hingga dia membatasi interaksi sosialnya termasuk kepada Seluruh Kerabat dan keluarganya dekatnya sendiri.

 

Lain halnya dengan Imam Al-Ghazali, filsuf kenamaan Islam. Karena keterbatasan kekuasaannya untuk mencegah pengaruh negatif filsafat barat di kalangan umat Islam, lahirlah buku Ihya Ulumiddin, sebagai bentuk batasan terhadap penggunaan logika yang penuh keterbatasan.

 

Serangkaian tindakan manusia dalam membentuk batasan adalah perwujudan nyata dari hukum. Hukum yang dideskripsikan sebagai aturan yang memaksa, dibuat oleh segolongan manusia untuk menciptakan batasan dari segala keterbatasan yang ada.

 

Memanglah Negara memiliki keterbatasan dalam mencegah abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan), untuk meminimalisir hal tersebut, maka diciptakanlah batasan. Negara akhirnya dibagi menjadi tiga kekuasaan, yaitu legislatif untuk membuat peraturan, eksekutif untuk menjalankan peraturan, dan yudikatif untuk mengadili pelanggaran terhadap peraturan.

 

Peraturan adalah serangkaian aturan sebagai bentuk batasan untuk membedakan antara perintah, larangan, dan pembiaran. Sebagaimana lahirnya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), yang merupakan bentuk batasan terhadap penggunaan hak individual dalam kehidupan sosial.

 

Sekarang RKUHP menjadi polemik yang menimbulkan pro dan kontra. Pertanyaannya adalah, jika menimbulkan kontra, maka apakah batasan terhadap penggunaan hak individual itu terlalu sempit? Sehingga ada yang merasa haknya terlalu dibatasi dalam kehidupan sosial.

 

Nah makanya Jangan aneh apabila Banyak kalangan yang mengekspresikan kekhawatirannya terhadap RKUHP yang rencananya akan segera disahkan dan dalam proses final di parlemen ini, khususnya kalangan mahasiswa, Aktivis dan Jurnalis Garis Lurus. Setiap ada peraturan yang dibahas oleh Presiden dan DPR, tuntutan publik yang tidak pernah hilang adalah transparansi pembahasan dan penghilangan pasal-pasal yang dianggap membatasi kebebasan publik. Satu diantaranya adalah pasal penghinaan kepada penguasa.

Ketakutan masyarakat sipil terhadap RKUHP memang cukup beralasan, setidaknya ada 14 pasal yang perlu mendapat pembahasan mendalam.

Dari masyarakat sipil, setidaknya ada lebih dari 10 pasal yang dianggap bisa memasung iklim kebebasan buah reformasi 1998.

Salah satunya Pada Pasal 218 ayat 1 RKUHP berbunyi, “Setiap orang yang dimuka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori empat”.

 

Selain itu, diatur juga penghinaan terhadap kekuasaan umum yaitu DPR, DPRD, Polisi, Jaksa, Gubernur, dan Bupati/Walikota pada Pasal 353 ayat 1 RKUHP yang berbunyi, “Setiap orang yang dimuka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II”.

Baca juga:  Terlibat Obstruction of justice Brigjen Pol. Hendra Kurniawan akhirnya divonis hukuman penjara selama tiga tahun oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Dan untuk kali ini saya mencoba rangkum dan mencatat kira – kira ada 10 pasal dalam RKUHP yang bisa juga mengkriminalisasi kebebasan pers.

Kalaulah kira harus merinci lebih detail lagi pasal-pasal tersebut di antaranya pasal 281 tentang penghinaan terhadap pengadilan; pasal 219 tentang penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden; pasal 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah; pasal 247 tentang hasutan melawan penguasa; pasal 262 tentang penyiaran berita bohong; pasal 263 tentang berita tidak pasti.

Pasal 281, misalnya, mengancam pidana Kategori II, setiap orang yang saat sidang pengadilan berlangsung tidak mematuhi perintah pengadilan, bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan, atau tanpa izin pengadilan merekam, mempublikasikan secara langsung proses persidangan.

Sesuai ketentuan, denda pidana dikategorikan menjadi empat yakni kategori I dan II, termasuk denda ringan dengan alternatif penjara di bawah satu tahun serta kategori III dan IV denda berat dengan alternatif penjara satu sampai tujuh tahun.

Pasal lain yang kontrovesial dan mengancam kebebasan adalah pasal soal makar. Pidana Makar diatur pada Pasal 191 hingga 196. Pada bagian penjelasan, Pasal 167 makar didefinisikan sebagai “niat untuk melakukan suatu perbuatan yang telah diwujudkan dengan adanya permulaan pelaksanaan perbuatan tersebut.”

 

Ancaman terhadap hukuman makar ini cukup bervariasi mulai dari 12 tahun penjara hingga hukuman mati. Namun, menurut Aliansi Nasional Reformasi KUHP, definisi makar dinilai bisa menjadi pasal karet karena dianggap belum merujuk pada makna istilahnya. Padahal sangatlah jelas definisi makar berdasar dari asal kata “aanslag” yang berarti serangan.

Nah cobalah kita mengambil contoh pada pasal 193 yang berbunyi: “Setiap orang yang melakukan makar dengan maksud menggulingkan pemerintahan yang sah dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun,”

Pasal itu mensyaratkan upaya penggulingan dan atau pengambilalihan sebagai unsur pidana. Hasil kajian Komnas HAM terhadap pasal itu berpotensi disalah gunakan. Karena delik makar seharusnya hanya terkait dengan tindakan yang bersifat menyerang.

Padahal Sebelumnya juga Mahkamah Konstitusi pernah membatalkan pasal penghinaan di dalam KUHP yang lama karena hal itu nyata dan dianggap inkonstitusional, terlebih lagi pada pasal tersebut menggunakan delik umum. Perbedaannya dengan pasal penghinaan yang baru di RKUHP adalah penggunaan delik aduan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 353 ayat 3 RKUHP, “Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina”. Sehingga tidak semua orang dapat melaporkan pihak penghina, hanya dibatasi untuk pihak yang dihina secara langsung.

Menelaah aturan baru terkait pasal penghinaan di dalam RKUHP ini, tampaknya tidak adil jika dikatakan terlalu sempit membatasi penggunaan hak individual di dalam kehidupan sosial. Justru di dalam pasal penghinaan yang baru ini lebih menguntungkan pihak penghina nantinya, karena hanya pihak yang dihina yang dapat melaporkannya. Lantas bagaimana dengan nomenklatur penghinaannya? Nah Apakah bisa dianggap bertentangan dengan kebebasan berpendapat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 UUD NRI 1945?

Baca juga:  Berikut Dibawah Ini Profil Lengkap Silmy Karim Dirut Krakatau Steel Yang Diusir Saat RDP dengan Komisi VII DPR RI dan Sepak Terjang Serta Karirnya

Sejauh ini unsur-unsur pasal penghinaan yang disusun dalam RKUHP cukup jelas dan dapat dipahami arahnya. Yang dimaksud “menghina” disamakan dengan argumentum ad hominem (mengintimidasi secara personal). Maknanya sangat dapat dibedakan dengan “mengkritik”. Dalam mengkritik, yang diperlihatkan adalah kekeliruan seseorang atau lembaga dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Berbeda halnya dengan “menghina” yang memperlihatkan bentuk hinaan yang menyerang secara personal, seperti menyamakan seorang pejabat negara dengan perilaku binatang tertentu.

Menimbang hal tersebut, tampaknya cukup absurd jika disimpulkan bahwa pasal penghinaan di dalam RKUHP bertentangan dengan kebebasan berpendapat. Terlebih lagi sistem kebebasan yang diusung di dalam UUD NRI 1945 bukanlah jenis kebebasan tanpa batas, karena akan berujung anarki.

Pasal 28 J ayat 1 UUD NRI 1945 berbunyi, “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Pasal ini adalah batasan yang diberikan terhadap kebebasan hak di dalam UUD NRI 1945. Sehingga diharapkan penggunaan hak individual dalam kehidupan sosial tidak sampai bersinggungan dengan hak individual orang lain, seperti hak bebas untuk berpendapat dengan hak bebas dari penghinaan. Semua aturan tersebut sebagai batasan dari segala keterbatasan untuk mengontrol tindakan baik dan buruk terhadap sesama.

Sebelumnya juga pernah ditayangkan di Media Online & cetak Sitijenarnews. Com Yang mana DPR RI akan kembali membahas mengenai RKHUP hingga akhirnya menuai pertentangan Luas publik.

Beberapa pasal dalam rancangan yang dibahas dinilai bermasalah salah satunya adalah Pasal 218, Pasal 219, hingga pasal 241. Beberapa pasal tersebut menjadi momok bagi kebebasan berpendapat di Indonesia khususnya bagi beberapa pihak yang tak terlepas dari kegiatan melayangkan kritik seperti jurnalis dan peneliti.

Permasalahan dalam deretan pasal tersebut memunculkan polemik hingga menuai pertentangan dari pihak-pihak yang bersangkutan. Berikut beberapa Polemik pada Pasal – pasal RKHUP yang tengah dikebut oleh DPR.

1. Pasal 218 – 219 dinilai ancam profesi para jurnalis. 

 

Pasal 218 dan Pasal 219 RKUHP mengancam profesi para jurnalis juga aktivid dan ini dinilai memuat pasal karet yang dapat digunakan untuk mengkriminalisasi para wartawan serta aktivis yang ‘vokal’ menyuarakan kritik kepada pemerintah baik pusat dan daerah.

 

Marilah kita Ambil contoh kasus seorang wartawan yang dipenjarakan usai menulis berita menyoal eks presiden RI, Megawati Soekarno Putri.

“Pasal ini bukan pasal yang dikhawatirkan, tapi sebenarnya sudah pernah terjadi pada 2003, waktu itu redaktur eksekutif Harian Rakyat Merdeka yang divonis enam bulan karena dianggap melakukan pencemaran nama baik pada Presiden Megawati Soekarnoputri,” Kala itu

Yang mana Salah satu bunyi pasal tersebut yang dinilai menuai polemik adalah menyoal ancaman pidana terhadap penulis berita yang dinilai memuat penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden.

Baca juga:  Biang Keladi Kehancuran Alam Banyuwangi Yang Di Back Up Pengusaha Dilingkaran Istana

 

Nah pertanyaan sederhana saya adalah, Siapa yang akan menentukan informasi ini bohong atau tidak, lalu apa yang dimaksud dengan kerusuhan, saya pikir ini sangat multitafsir sekali dan mengancam, jurnalis dan aktivis sangatlah rawan dikriminalisasi loh,”

 

2 Objektivitas para peneliti Sangatlah terancam berkat adanya Pasal 218 RKUHP

Objektivitas para peneliti terancam berkat adanya Pasal 218 RKUHP. Dalam hal ini para peneliti pun melihat ada ancaman kriminalisasi terhadap peneliti yang mengungkapkan fakta sensitif, berkaca terhadap kasus kriminalisasi peneliti KontraS.

“Ini mengancam demokrasi kita, bukan hanya bagi mahasiswa tapi bagi para peneliti juga, misalnya kemarin ada Fatia (Koordinator KontraS) yang melakukan penelitian kemarin dikriminalisasi, ini tentu ancaman terhadap pembela HAM,”

 

3. Sudah gak jaman Kritik pemerintah di Medsos terancam penjara

 

Tak hanya wartawan dan peneliti, masyarakat awam juga ‘berkesempatan’ mencicipi hidup di balik jeruji besi jika berani mengkritik pemerintah melalui media sosial.

 

Pasal 242 RKHUP dinilai mengekang kebebasan berpendapat lantaran memuat delik yang berbunyi:

“Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.”

 

Pasal tersebut dinilai dapat berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang melayangkan ketidakpuasan mereka terhadap kinerja pemerintah. Sehingga, publik menilai bahwa pasal tersebut menunjukkan sifat antikritik yang dimiliki oleh pemerintah.

 

Nah pertanyaan sederhana nya ialah Kalau yang kita bicarakan itu sesuai fakta yang didukung oleh bukti, apa termasuk hinaan? Jadi beda fakta dan hina apa dong kalau begitu?”

Kembalinya Pasal penghinaan ini menurut saya nanti takutnya akan menjadi pasal karet ya seperti pasal pasal sebelumnya di UU ITE, yang Kerap digunakan oleh penguasa atau para penegak hukum baik di Pusat Terlebih lagi di Daerah – daerah untuk membungkam dan terus mengkriminalisasi orang-orang yang selama ini kritis terhadap pemerintahan baik di Pusat Utama nya di Daerah,”

 

Sekian wassalam dan selamat sore sodara-sodaraku sebangsa dan setanah air. Semoga paparan dan coretan singkat yang saya rangkum dari beberapa sumber dan saya tulis dengan mewakili kata kata keluhan para aktivis dan jurnalis diatas itu bisa memberikan sebuah edukasi dan tambahan pengetahuan serta masukan kepada pembuat kebijakan yang ada di Republik yang kita cintai ini.

 

Penulis by; Eko Febrianto Ketua Umum LSM SITI JENAR yang Juga pimpinan Perusahan dan Redaksi Media Online dan cetak Sitijenarnews.com serta Headline.news.info

 

(Red/Tim-Biro pusat Sitijenarnews.com dan Headline.news.info)

error: