Sitijenarnews. Com Rabu 3 Agustus 2022; Sebentar lagi kita akan menyongsong agenda rutin demokrasi dalam rangkaian pesta 5 tahunan, tidak terasa tahapan demi tahapan pemilu sudah mulai dilaksanakan. Hari-hari ini media sudah mulai ramai dan diisi oleh dinamika percakapan terkait partai politik, koalisi, popularitas, dan elektabilitas calon presiden, serta pendapat-pendapat para pengamat dalam mengisi kanal pemberitaan tentang Pemilu 2024, baik melalui media televisi, media massa, dan media sosial.
Dalam setiap rangkaian penyelenggaraan pemilu, isu politik uang masih selalu melekat dan erat bagi kehidupan demokrasi elektoral kita hari ini. Tentu, politik uang menjadi salah satu isu yang menodai demokrasi di republik ini.
Jika kita perhatikan data Bawaslu terkait hasil pelanggaran pemilu tahun 2019 menyatakan bahwa terdapat 6.649 temuan yang telah diregistrasi, 548 pelanggaran pidana dan 107 pelanggaran kode etik. Pelanggaran pidana tertinggi adalah politik uang.
Selain itu dalam sebuah jurnal yang ditulis oleh Burhanudin Muhtadi tahun 2019, jumlah pemilih yang terlibat politik uang dalam Pemilu 2019 di kisaran 19,4 persen hingga 33,1 % . Kisaran politik uang ini sangat tinggi menurut standar internasional, dan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan peringkat politik uang terbesar nomor tiga sedunia. Dengan kata lain, politik uang telah menjadi praktik normal baru dalam pemilu Indonesia.
Tentu dari data dan rangkaian pemilu terdahulu fokus terhadap politik uang masih menjadi concern bersama bagi setiap pemangku kepentingan (stakeholder) yang akan berpartisipasi pada Pemilu 2024, yakni KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu, partai politik, para caleg dan capres serta pemilih pemilu itu sendiri. Politik uang bisa dimaknai sebagai tindakan jual beli suara pada sebuah proses politik dan kekuasaan. Untuk itu kita perlu memahami politik uang tidak hanya sebagai fenomena 5 tahunan saja, tetapi juga harus memahami bagaimana transaksi politik uang ini bisa terjadi dan dijalankan.
Untuk masuk dalam memahami politik uang secara sederhana maka penelusuran Supriyanto tahun 2014 yang disajikan dalam kajiannya membagi politik uang menjadi 4, sesuai aktor dan wilayah operasinya:
* Transaksi yang dilakukan oleh elite ekonomi dengan paslon yang akan menjadi pengambil keputusan atau kebijakan.
* Transaksi yang dilakukan oleh paslon dengan partai politik dengan upaya untuk memperebutkan tiket dan nomor urut dalam kontestasi pemilu.
* Transaksi yang dilakukan oleh paslon dan partai dengan petugas perhitungan suara untuk kebutuhan mengondisikan perhitungan suara demi keuntungan paslon dan partai politik.
* Transaksi yang dilakukan oleh paslon dan tim kampanye dengan masyarakat pemilih yang dimaknai sebagai vote buying atau pembelian suara.
Dari penjelasan di atas pada praktiknya bisa kita lihat beberapa contohnya, seperti pembagian uang transportasi kampanye, janji memberikan uang/barang, pembagian sembako, material dalam pembangunan sarana ibadah, serangan fajar, dan lainnya. Dan sulitnya pembuktiannya akibat tidak ada batasan yang jelas dalam politik uang dalam rangkaian pemilu.
Tidak bisa dimungkiri bahwa pragmatisme pemilih di Indonesia membuat transaksi politik uang masih dianggap hal yang biasa bagi masyarakat kita. Selain itu, hal yang tidak kalah penting dalam mengamati praktik politik uang adalah psikologis pemilih yang tidak terhubung dengan ideologi partai politik.
Dengan gagalnya partai membangun positioning, maka sudah bisa dipastikan bahwa tidak terjalinnya kedekatan secara emosional antara pemilih dengan partai politik tersebut. Hal ini bisa kita telusuri dari hasil pemilihan umum yang sudah dilaksanakan beberapa kali yang dibuktikan dengan perolehan suara yang dihasilkan oleh partai politik yang selalu berubah-ubah.
Meskipun identitas partai politik tidak satu-satunya yang menjadi alasan terjadinya praktik politik uang, namun dari hal tersebut membuat pragmatisme terjadi di kalangan masyarakat Indonesia terhadap politik. Dan membuat asumsi baru di masyarakat bahwa apapun partai politik dan ideologinya pada akhirnya sama saja ketika sudah berkuasa dan memenangkan pemilu tentunya karena tidak terhubungnya emosional pemilih dengan partai politik, yang menimbulkan perubahan perilaku masyarakat dalam memilih menjadi transaksional pada siapa saja yang mau dan berkenan memberikan uang.
Terbangunnya fenomena dan asumsi di masyarakat bahwa politik uang adalah hal yang biasa menjadi informasi dalam pelaksanaan proses elektoral di Indonesia setiap 5 tahun sekali. Tentu menjadi pekerjaan rumah dalam upaya membangun demokrasi yang matang dan adil dalam kontestasi pemilu, meskipun masyarakat Indonesia sudah menempatkan politik uang sebagai perilaku yang salah namun dalam kenyataannya politik uang ini sukar sekali untuk dihilangkan.
Pada faktanya ada pula sebagian masyarakat yang menganggap bahwa politik uang adalah hal biasa dan lumrah. Hal inilah yang membuat dilema dalam menurunkan praktik politik uang sebab masyarakat sudah dianggap sebagai pelaku yang ikut terlibat baik sebagai pemberi maupun sebagai penerima. Dengan kata lain, politik uang adalah praktik yang dibenci, tetapi juga dirindukan bagi sebagian masyarakat. Hal tersebut yang membuat dilema terjadi pada upaya meminimalisasi politik uang.
Pada pemilu mendatang yang akan dilakukan pada 14 Februari 2024, politik uang menjadi salah satu tema yang perlu ditangani dan dicegah bersama-sama. Karena kompleksitas yang akan terjadi bakal cukup menyita ruang publik sebab akan dilaksanakan pemilihan untuk memilih presiden dan wakil presiden, DPR RI, DPD RI, dan DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Politik uang sudah menjadi bagian dari kebiasaan masyarakat dan berpotensi menjadi budaya turun-temurun antargenerasi, tentu kita perlu membangkitkan optimisme dan perlawanan terhadap politik uang dengan membangun komitmen bersama.
Beberapa hal yang perlu menjadi catatan bersama untuk kita kawal bersama adalah:
* Merumuskan batasan politik uang lebih spesifik pada aturan yang sah dan memperkuat penegakan Undang-Undang Pemilu dan aturan lainnya yang dirumuskan dalam upaya mencegah praktik politik uang.
* Memaksimalkan peran Bawaslu dalam melaksanakan pencegahan dan pelanggaran pemilu di Indonesia, serta masyarakat juga bisa terlibat partisipatif dalam melaporkan jika terjadi praktik politik uang.
* Membersamai lembaga penyelenggara pemilu dalam memberikan sosialisasi kepada masyarakat luas terkait pengetahuan dan wawasan serta membangun gerakan penolakan politik uang.
Komitmen yang dibangun diharapkan dapat meningkatkan kualitas demokrasi dan meningkatkan legitimasi hasil pemilu. Membangun budaya baru butuh waktu dan kesabaran serta tetap optimis bahwa politik uang bisa kita hindari bersama-sama. Mari hadapi Pemilu 2024 dengan rasionalitas yang baik dalam menentukan pilihan demi peningkatan kualitas demokrasi.
Sekian wassalam.
(Red/Tim-Biro Pusat Sitijenarnews)