Kalau Maling ya Tetap Maling Walau Mau Dibalut Penghargaan apapun itu Rakyat Telah Cerdas Kawan: Reward WTP Bukan Jaminan Suatu Daerah Bebas Korupsi, Lihat Tuh Kasus Lukas Enembe Dan Beberapa Bupati dan Walikota Lainnya. Berturut-turut dapat Opini WTP Tapi Kok Tetap Ditangkap KPK

Sitijenarnews.com Sabtu 25 Maret 2023: Institusi pemerintahan atau institusi negara lainnya yang kerap mendapat status Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), tidak menjamin sebuah daerah atau lembaga akan bebas dari korupsi. Misalnya saja Provinsi Papua, yang sudah opini WTP sebanyak delapan kali berturut-turut, namun Gubernurnya, Lukas Enembe, menjadi tersangka kasus korupsi.

Salah Satu Contoh Misalnya: Bupati Kabupaten Bogor Ade Yasin mengenakan rompi tahanan KPK usai menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Beberapa saat lalu.
Diketahui KPK kala itu menahan delapan tersangka yakni Bupati Bogor Ade Yasin bersama pejabat dan ASN Pemkab Bogor serta pegawai BPK Jawa Barat pasca tertangkap tangan pada Rabu (27/4/2022) malam lalu atas kasus dugaan suap kepada anggota tim audit BPK Perwakilan Jawa Barat dengan nilai total suap Rp1,024 Miliar untuk pengurusan laporan keuangan Pemkab Bogor Tahun Anggaran 2021 agar mendapatkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

Memanglah Benar adanya Predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang didamba-dambakan setiap kepala daerah rupanya tidak selalu dapat diraih dengan cara yang bersih dan fair.

Berkaca dari kasus dugaan korupsi Bupati Bogor Ade Yasin, predikat WTP rupanya dapat diperoleh dengan menyogok auditor BPK.

Selain Ade, ada sejumlah kepala daerah yang tetap tersandung korupsi meski daerah yang dipimpinnya meraih predikat WTP, sebut saja Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari, Bupati Purbalingga Tasdi, dan Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi.

Terbaru Hal itu juga disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, dalam pernyataan resminya yang dikutip pada Jumat (23/9/2022).

Menurut Mahfud, status WTP dalam laporan keuangan daerah tidak menjamin bebasnya wilayah itu dari praktik korupsi.

Contoh misalnya “Papua mendapatkan penghargaan dari Kementerian Keuangan karena WTP. WTP itu bukan menjamin tidak adanya korupsi,” tegas Mahfud lagi.

Ia juga menjelaskan selama ini di lembaga-lembaga atau daerah yang terjerat kasus korupsi juga memperoleh status WTP dari Kementerian Keuangan. Ada sejumlah contoh lembaga yang terjerat kasus korupsi meskipun mengantongi status WTP.

Mahfud juga mencontohkan, saat dirinya memimpin Mahkamah Konstitusi (MK) dan mendapatkan status WTP sebanyak belasan kali, ternyata masih ditemukan tindak pidana korupsi.

“Saya memimpin MK, itu sampai sekarang sudah belasan kali WTP. Tapi koruptornya ada dua, jadi WTP (tetap) ada korupsinya,” tukasnya.

Baca juga:  Banjir Rob Terjang Sepanjang Pesisir Kapongan Situbondo, 8 Rumah warga rusak parah 67 Lain nya Terendam

Ia menambahkan status Opini WTP itu sesungguhnya merupakan kesesuaian transaksi yang dimasukkan dalam laporan keuangan. Ada sejumlah hal yang perlu dicermati meskipun sebuah lembaga atau daerah mendapatkan status WTP, namun tetap ada tindak pidana korupsi.

Salah satu jenis transaksi yang bisa mendapatkan opini WTP namun sesungguhnya merupakan tindak pidana korupsi adalah adanya kick back atau pengembalian uang dalam jumlah tertentu kepada sejumlah oknum setelah transaksi dalam pembukuan dilakukan, katanya.

“Kontrak sudah benar, pembukuan benar, kemudian ada kick back. Jadi misalnya membangun gedung Rp500 miliar, kemudian dikembalikan Rp50 miliar (tidak tercatat). Itu ketahuan oleh KPK,” ujarnya.

Sekedar diketahui Pada Juni 2022, Provinsi Papua mendapatkan opini WTP untuk laporan keuangan 2021 dan merupakan yang ke-8 kali secara berturut-turut. Pemerintah Provinsi Papua menyatakan bahwa opini WTP tersebut merupakan kerja keras seluruh pihak ucap salah satu pejabatnya kala itu.

kasus yang sama juga Sempat melibatkan Bupati Bogor Ade Yasin dan empat anggota BPK Jawa Barat menunjukkan bahwa instrumen pengawasan internal milik BPK gagal.

Bupati Bogor Ade Yasin kala itu dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang berlangsung Selasa (26/4/2022) hingga Rabu (27/4/2022) lalu.

Setelah melakukan pemeriksaan, Pihak KPK kala itu menyatakan terdapat delapan tersangka dalam kasus dugaan korupsi tersebut, termasuk Ade dan empat anggota BPK Jabar yaitu Anthon Merdiansyah, Arko Mulawan, Hendra Nur serta Gerri Ginanjar Trie.

Kala itu Ketua KPK Firli Bahuri juga mengungkapkan Ade diduga hendak memberi suap pada empat anggota BPK agar laporan keuangan Pemkab Bogor kembali meraih predikat WTP.

Pada OTT waktu itu, KPK mengamankan uang senilai Rp 1,24 miliar. Sedangkan jumlah suap yang diterima para anggota BPJ Jabar dinilai mencapai Rp 1,19 miliar.

Baca juga:  Gegara Kisruh pada ajang Pilkades Kemarin. Rasidi Warga Kembang Sari Jatibanteng Pelaku Penganiayaan Berat yang Sempat Lolos akhir Di tangkap dan Ditahan di Polres Situbondo

“ Hal Ini menunjukan BPK tidak pernah serius membenahi instansinya. Padahal BPK adalah salah satu lembaga yang mestinya menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi,”

Ini adalah bagian dari Sebuah Fakta Praktik jual beli predikat WTP hanya digunakan untuk menjaga gengsi atau membohongi publik.

Bukan Rahasia lagi kalau WTP juga Kerap Dijadikan Abang Pencitraan:

Sementara Terkait Hal ini, Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno mengakui, bagi kepala daerah, predikat WTP merupakan hal yang penting agar mereka dipandang sebagai sosok yang baik dan bersih.

“WTP itu positif bagi kepala daerah karena dinilai kinerjanya baik dan bersih dari segi laporan keuangan. Wajar kalau kepala daerah berlomba-lomba pamer WTP dari BPK karena bisa buat jualan politik tentu untuk mendapat simpati rakyat,” kata Adi Beberapa saat lalu.

Akan tetapi, senada dengan Egi, ia menilai predikat WTP tak menjamin seorang kepala daerah bersih dari praktik korupsi dan suap.

Menurut Adi, kasus dugaan suap Ade Yasin menuebalkan kecurigaan publik bahwa predikat WTP dapat diperjualbelikan dengan praktik suap.

“Kasus Ade Yasin ini jadi bukti sahih bawah WTP hanya pengakuan formalitas dan sering berbeda dengan realitasnya,” ujar Adi.

Pengamat politik dari Universitas Al Azhar ini juga menambahkan, di mata pemilih, predikat WTP juga menjadi salah satu faktor yang dipertimbangkan sebelum memilih kepala daerah.

Namun, sekali lagi, predikat WTP bisa saja menipu rakyat karena predikat itu dapat diraih melalui lobi-lobi maupun suap seperti yang terjadi di Bogor dan Dibeberapa daerah lainnya.

“Masyarakat tahunya apa yang di atas kertas, bukan pada hal di belakang layar. Di atas kertas WTP, bagi rakyat bahwa bupatinya tak korupsi. Padahal, di belakang layarnya belum tentu.

Baca juga:  Warning; KPK telah Petakan Potensi dan Celah Korupsi pada Pengajuan dan Penyerapan Dana PEN di Daerah

Bukan Kali ini Saja BPK Disorot:

Terlepas dari penggunaan predikat WTP sebagai alat jualan politik, BPK diminta segera berbenah dengan terulangnya kasus korupsi jual beli predikat WTP.

Bercermin dari kasus Ade, Kami menilai instrumen pengawasan internal yang dimiliki oleh BPK gagal menjalankan fungsinya.

“Ini menunjukkan BPK tidak pernah serius membenahi instansinya. Padahal BPK adalah salah satu lembaga yang mestinya menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi,” ujarnya.

Sementara Terkait ini, Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun. pun ikut meminta BPK untuk menjaga standar prosedur dalam melakukan audit supaya hasilnya tidak bisa diperjualbelikan.

“Apa yang menjadi concern kita bersama bahwa WTP itu adalah opini hasil audit dengan rencana, dengan program audit yang memadai, dengan standar prosedur yang tinggi, itu adalah hal yang harus dipertahankan oleh BPK dan tidak bisa diperjualbelikan,” kata Misbakhun

Kendati demikian, politikus Partai Golkar itu meyakini predikat WTP tidak bisa diperjualbelikan karena pemberian predikat itu melalui mekanisme yang baku di BPK.

Misbakhun pun berpandangan, kasus dugaan suap yang melibatkan Ade hanyalah satu bagian dari proses penetapan predikat WTP terhadap sebuah daerah.

“Adanya negosiasi dan sebagainya saya tidak percaya, apa yang mau diperjualbelikan, itu tidak mungkin seorang bawahan itu bisa menentukan ‘oh WTP’, enggak mungkin,” kata dia.

(Red/Tim-Biro Pusat Sitijenarnews)

error: