Sitijenarnews.com Situbondo, Jawa Timur — Sabtu, 13 Desember 2025: Dalam literatur kebijakan fiskal dan tata kelola publik, akhir tahun anggaran dikenal sebagai fase paling rentan terhadap penyimpangan. Tekanan penyerapan anggaran, keterbatasan waktu administratif, serta dorongan politik untuk menunjukkan kinerja fisik menciptakan kondisi yang oleh para akademisi disebut sebagai structural vulnerability period. Di Indonesia, fase ini secara sosial-politik termanifestasi dalam apa yang lazim disebut sebagai musim proyek.

Secara normatif, proyek infrastruktur diposisikan sebagai instrumen utama negara kesejahteraan. Namun dalam praktik empiris di tingkat daerah, proyek justru kerap berfungsi sebagai medium ekstraksi rente politik. Anggaran publik tidak lagi diperlakukan sebagai amanat konstitusional, melainkan sebagai sumber daya yang dapat dinegosiasikan di antara aktor-aktor yang memiliki akses terhadap kekuasaan.
Fenomena ini dapat dijelaskan melalui kerangka ekonomi politik institusional. Desain pengelolaan anggaran daerah menempatkan kepala daerah sebagai aktor dengan diskresi luas, sementara mekanisme pengawasan substantif sering tertinggal oleh kompleksitas teknis pengadaan. Kondisi ini menciptakan principal–agent problem yang akut: publik sebagai prinsipal tidak memiliki kapasitas kontrol yang sebanding dengan kewenangan agen politik dan birokrasi.
Dalam konteks pengadaan jasa konstruksi, korupsi tidak muncul secara sporadis, melainkan terstruktur dan berulang. Persekongkolan tender, pengaturan pemenang, kebocoran HPS, mark-up anggaran, pengurangan spesifikasi teknis, hingga manipulasi laporan kemajuan fisik adalah ekspresi dari apa yang oleh Lawrence Lessig disebut sebagai institutional corruption: praktik yang mungkin tampak prosedural, tetapi secara substantif merusak tujuan institusi publik.
Di tingkat kabupaten dan kota, pola ini semakin mengental karena relasi kuasa bersifat personalistik. Kekuasaan politik, birokrasi teknis, dan sektor swasta bertemu dalam satu ekosistem tertutup. Hubungan ini membentuk apa yang dalam studi governance disebut local elite cartel, di mana kompetisi pasar digantikan oleh loyalitas dan kedekatan struktural.
Istilah komitmen fee hidup dan berfungsi dalam ruang ini sebagai mekanisme informal distribusi rente. Ia tidak hadir dalam regulasi, tidak tercatat dalam dokumen, namun bekerja efektif sebagai kontrak sosial bayangan di antara para aktor. Dalam sosiologi organisasi, ini dikategorikan sebagai informal institution—aturan tak tertulis yang justru lebih ditaati daripada hukum formal.
Yang menarik secara akademik adalah bagaimana praktik ini dipertahankan melalui rasionalisasi kolektif. Setiap aktor merasa dirinya hanya bagian kecil dari sistem yang lebih besar. Pejabat politik berdalih pada tekanan politik dan pembiayaan kekuasaan, birokrat teknis bersembunyi di balik prosedur administratif, sementara rekanan mengklaim kepatuhan terhadap “aturan main”. Akibatnya, tanggung jawab melebur, dan akuntabilitas kehilangan subjek.
Penindakan hukum yang dilakukan dari waktu ke waktu sering dipahami publik sebagai solusi utama. Namun riset antikorupsi menunjukkan bahwa penegakan hukum tanpa reformasi tata kelola hanya menghasilkan efek jera semu. Ketika peluang korupsi tetap tinggi dan sistem pengawasan tidak diperbaiki, maka hukuman tidak dipersepsikan sebagai pencegah, melainkan sebagai risiko yang dapat dihitung.
Dalam kerangka rational choice theory, korupsi dalam kondisi ini menjadi keputusan ekonomis, bukan penyimpangan moral. Aktor menimbang peluang, risiko, dan manfaat. Selama manfaat politik dan ekonomi melebihi risiko, praktik tersebut akan terus direproduksi lintas periode kepemimpinan.
Peringatan Hari Anti Korupsi yang dilakukan setiap tahun sering kali gagal menyentuh persoalan mendasar ini. Ia berhenti pada level simbolik dan normatif, tanpa keberanian menyentuh desain kekuasaan dan distribusi diskresi. Dalam kajian kebijakan publik, fenomena ini disebut performative anti-corruption—komitmen yang ditampilkan, bukan dijalankan.
Dampak korupsi jasa konstruksi bukan sekadar kerugian fiskal, melainkan kerusakan struktural jangka panjang. Infrastruktur yang dibangun dengan kualitas rendah meningkatkan biaya pemeliharaan, menurunkan keselamatan publik, dan memperlemah kepercayaan warga terhadap negara. Korupsi, dengan demikian, adalah produsen ketidakpastian sosial.
Kesimpulannya, korupsi jasa konstruksi tidak dapat dipahami sebagai kegagalan individu semata. Ia adalah patologi tata kelola—hasil dari desain institusi yang memberikan diskresi luas tanpa kontrol memadai, serta budaya politik yang menormalisasi penyimpangan. Selama reformasi hanya berhenti pada penindakan dan tidak menyentuh akar struktural, musim proyek akan terus beriringan dengan musim korupsi.

Negara yang serius membangun tidak cukup menambah proyek, tetapi harus berani membongkar relasi rente yang menopangnya. Tanpa itu, pembangunan hanyalah ilusi administratif yang mahal dan rapuh sungguh sangat ironi sekali bukan.?
Penulis: Eko Febrianto
Ketua Umum LSM SITI JENAR
(Red/Tim-Biro Siti Jenar Group Multimedia)







