Sitijenarnews.Com Banyuwangi Jatim Jum’at 11 Maret 2022; Proyek penambangan Tujuh Bukit di hutan lindung Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Sampai Hari ini masih menyisakan masalah hukum, lingkungan, dan sosial. Yang mana Kepentingan industri dan investasi telah mengalahkan kepentingan kelestarian ekosistem atau alam. Bentang alam berupa gugusan bukit-bukit besar di hutan lindung Tumpang Pitu telah dikeruk untuk penambangan sumber daya mineral yang mengandung emas, perak, dan tembaga.
Selain Mensiasati hukum dan Aturan lainnya dengan menurunkan status Hutan Lindung (HL) jadi Hutan Produksi Tetap (HPT), masalah hukum juga menimpa warga penolak tambang. Beberapa dari mereka diduga dikriminalisasi dengan tuduhan melakukan perusakan, pencemaran nama baik, hingga tuduhan menyebarkan komunisme.
Sejak tahun 1995, investor pertambangan luar negeri memang mengincar kekayaan mineral di kawasan taman nasional, hutan lindung, dan cagar alam yang ada di Jember dan Banyuwangi.
Dimulai oleh Hakman Group melalui PT Hakman Metalindo dan dua perusahaan bentukan Hakman lainnya, PT Jember Metal dan PT Banyuwangi Mineral. Namun upaya Hakman selama 2000-2006 tersebut gagal dan hanya sampai izin eksplorasi atau penyelidikan kandungan mineral. Pemkab Jember menolak rencana penambangan dan Pemkab Banyuwangi tidak memperpanjang izin eksplorasi.
Masih di tahun 2006, PT Indo Multi Niaga (IMN) mendapat izin eksplorasi. Namun sebelum sampai memproduksi emas, PT Merdeka Copper Gold (Tbk) datang dan mengambil alih Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang sempat dikantongi IMN. IMN sepakat dan mendapat kompensasi dari PT Merdeka Copper Gold (Tbk).
PT Merdeka Copper Gold (Tbk) membentuk PT Bumi Suksesindo (BSI) dan PT Damai Suksesindo (DSI) sebagai operator Proyek Tujuh Bukit di Tumpang Pitu, Banyuwangi. Hingga 2021, penambangan masih berlangsung dan sejak 2016 ditetapkan sebagai Obyek Vital Nasional.
Kontroversi dan konflik penambangan di Tumpang Pitu antara perusahaan, warga penolak tambang, dan aparat hukum menarik untuk disusun dalam linimasa (timeline) atau urutan kejadian penting. Dari linimasa ini diharapkan bisa menjadi referensi masyarakat dalam memahami penyebab dan dampak yang Sebenarnya dari konflik yang terjadi Lapangan.
Yang mana penambangan emas yang saat ini telah Menjadi obyek vital nasional itu juga menyimpan “bom waktu” ancaman bencana besar termasuk tsunami, banjir lumpur, dan longsor. Nah dengan paparan Singkat diatas ini Sudah Saatnya dan Diperlukan Perlindungan hukum bagi masyarakat yang terkena dampak dalam bidang pertambangan yang mana hal itu telah dijamin oleh undang-undang. Dasar perlindungan hukum masyarakat yang terkena dampak di bidang pertambangan, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945Dan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Karena Masyarakat yang hidup diwilayah pertambangan yang terkena dampak langsung dari adanya kegiatan pertambangan memiliki hak untuk menggugat dan berhak akan kehidupan yang baik. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah diharapkan untuk lebih cermat dalam memantau adanya kegiatan pertambangan, karena dalam kenyataannya ada beberapa keputusan pemerintah yang masih bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan perihal perubahan alih fungsi hutan lindung.Pemerintah seharusnya memberikan izin aktifitas pertambangan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
(Red/Tim-Biro Banyuwangi Jatim)