Sitijenarnews.com Bandung Jabar Minggu 19 Juni 2022; Dalam Menyambut Hari Lingkungan Hidup Sedunia dan Bulan Bung Karno sejumlah aktivis lingkungan hidup dari berbagai forum adakan deklarasi bersama. Deklarasi tersebut adalah untuk menolak SK 287/2022 tentang Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) di Hutan Jawa.
Mereka yang menolak ini adalah Forum Penyelamat Hutan Jawa (FPHJ), Serikat Perhutani Bersatu (SPB), Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan masyarakat adat. Sementara deklarasi diadakan di Alam Santosa, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung pada Sabtu, 18 Juni 2022.
Perwakilan Serikat Perhutani Bersatu (SPB) Muhammad Ikhsan menyampaikan bahwa silaturahmi yang terlaksana ini sekaligus membahas permasalahan hutan jawa dan menindaklanjuti SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 287 tahun 2022 mengenai kawasan hutan dengan pengelolaan khusus (KHDPK).
Berbagai langkah atau cara telah mereka lakukan mulai lakukan aksi damai ke KSP sampai mendatangi Komisi IV DPR RI di Senayan. Hal ini kata dia untuk mengadukan masalah ini. Kebijakan SK 287/2022, kata Ikhsan, tentunya sangat memberikan dampak bagi para karyawan Perhutani.
“Kami pasti sebagai karyawan (Perhutani) merasa terdampak padahal baru mau ditetapkan, tapi secara psikologis sudah terkena, meski dampaknya tak selalu pemutusan hubungan kerja (PHK),” katanya.
Ikhsan berharap penetapan kebijakan yang dilakukan pemerintah nanti ada kesetaraan dan tak ada diskriminasi, serta jika perlu dalam prinsip kebijakan publik itu harus ada konsultasi publik dulu dan bukan hanya sosialisasi semata.
“Pemerintah itu jelas-jelas harus paling pertama berkonsultasi dengan yang paling terdampak, yakni seperti kami (karyawan Perhutani). Kami miliki anggota sebanyak 12 ribuan, lalu ada serikat pekerja dan pegawai Perum Perhutani yang jumlahnya tiga ribuan, dan ratusan orang dari Serikat Rimbawan Pembaharuan Perum Perhutani,” ujarnya.
“Di sini kami mendeklarasikan Serikat Perhutani Bersatu dan bergabung di Forum Penyelamat Hutan Jawa,” ucapnya.
Ketua Paguyuban Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Jabar, Nace Permana mengakui bahwa kebijakan Menteri LHK melalui SK nomor 287/2022 sangat merugikan banyak pihak.
“Situasi sekarang itu bagi LMDH seperti anak tiri nya Perhutani dan anak pungutnya KLHK. Dengan sudah diserobotnya lahan oleh kaum reforma agraria dari tangan Perhutani, pemanfaatan hutan perhutanan sosial (IPHPS) di beberapa wilayah, semisal Karawang sudah dikavling-kavling. Jadi, langkah yang kami ambil sekarang melakukan patroli di tingkat bawah,” ujarnya.
Ketua FPHJ, Eka Santosa kembali menegaskan posisi FPHJ tak anti terhadap reforma agraria. Tetapi, Eka menolak jika lahan hutan jawa menjadi objek dari reforma agraria. Terlebih, banyak lahan terlantar dan lebih cocok dijadikan objek reforma agraria dari pada hutan yang sekarang menjadi penyeimbang ekosistem dan sumber kehidupan bagi warga sekitar.
“Sekali lagi kami keberatan dan menolak tegas jika hutan yang dikelola bersama LMDH menjadi objek reforma agraria. Banyak lahan tidur dan sudah habis berlaku nya yang bisa dioptimalisasi menjadi reforma agraria,” katanya.
Sekretaris FPHJ, Thio Setiowekti menyatakan keberadaan Perhutani ini salah satunya melalui jasa Bung Karno yang pada 1961 menandatangani Peraturan Pemerintah nomor 17-30 tentang pembentukan perusahaan-perusahaan kehutanan negara.
“Mengutip penjelasan dari pakar kehutanan UGM pak Haryadi Himawan. Pasca kemerdekaan BTI dan Sarbuksi yang merupakan underbow PKI menginginkan lahan dibagikan kepada rakyat tapi kelompok rimbawan yang mengelola Hutan Jawa peninggalan Belanda terbukti tertib dan teruji sehingga Bung Karno mendirikan BPN Perhutani 1961,” katanya.
Bahkan lanjut Thio, Perhutani sebagai pengelola hutan jawa warisan Bung Karno tetap terjaga sampai presiden-presiden berikutnya, sampai muncul lah SK menteri LHK nomor 287/2022 yang mengancam eksistensi Hutan Jawa.
(Red/Tim-Biro Sitijenarnews Bandung)