Sitijenarnews.com Situbondo Jatim Minggu 17 Juli 2022; Buku karya Muhammad Zikra yang berjudul ‘Tertawa Bersama Gus Dur: Humornya Kiai Indonesia’, menjadi salah satu buku pertama kali yang menerangkan konteks munculnya lelucon ini.
Ceritanya, Gus Dur sedang ngobrol-ngobrol santai dengan para wartawan di rumahnya, Jalan Warung Silah, Ciganjur, Jakarta Selatan. Keluarlah lelucon soal tiga polisi jujur itu.
“Lelucon yang sebenarnya juga kritikan itu dilontarkan untuk menjawab pertanyaan wartawan perihal moralitas polisi yang kian banyak dipertanyakan,” tulis Muhammad Zikra di halaman 20 buku tersebut.
Lalu Gus Dur menjawab pertanyaan wartawan seraya berseloroh, “Polisi yang baik itu cuma tiga. Pak Hugeng almarhum bekas Kapolri, patung polisi, dan polisi tidur.”
Juga dikutip dari tulisan pada Buku dari mantan Menteri Riset dan Teknologi, Muhammad AS Hikam, yang berjudul ‘Gus Durku , Gus Dur Anda, Gus Dur Kita’ juga menjelaskan perihal konteks munculnya lelucon ini.
Yang mana ditulis pada buku itu, Pada 2008, Hikam sedang berbincang bersama Gus Dur mengenai kasus korupsi Bank Century. Pembicaraan kemudian merembet ke soal Polri, lembaga yang dijadikan Gus Dur berada di bawah presiden, dipisahkan dari TNI. Sebagaimana diketahui, Gus Dur menjabat Presiden pada tahun 1999-2001.
Nah dalam menanggapi isu kasus korupsi di internal kepolisian, Gus Dur kemudian menyampaikan lelucon itu.
“Polri memang sudah lama menjadi praktik kurang bener itu, sampai guyonan-nya kan hanya ada tiga polisi yang jujur: Pak Hoegeng (Kapolri 1968-1971), patung polisi, dan polisi tidur… hehehe…,” demikian kata Gus Dur sebagaimana disampaikan kembali di situs NU Online beberapa saat lalu.
“Nah Sekarang ayo kita Fokus Berbicara dan Mengulas lengkap tentang Siapakah Jenderal Hoegeng yang Disebut GusDur itu.
Oke di belakang saya ini adalah Fhoto Jenderal Hoegeng, Jenderal Hoegeng adalah satu teladan dan tokoh yang terkenal jujur dan anti korupsi. Beliau merupakan salah satu tokoh Kepolisian Republik Indonesia yang pernah menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia ke-5 yang bertugas dari tahun 1968-1971.
Sangat Berbeda dengan polisi lainnya di masa itu, Hoegeng tidak mempan disuap. Baginya, lebih baik hidup melarat dari pada menerima suap atau korupsi. Inilah beberapa kisah dan kiprah Jenderal Hoegeng sejak merintis karier sebagai polisi hingga berpuncak pada karier sebagai Kapolri.
Menyandang gelar pemimpin tertinggi kepolisian periode 9 Mei 1968 – 2 Oktober 1971, membuat Hoegeng Imam Santoso atau Jenderal Hoegeng tak pandang bulu dalam mengusut kelindan kecurangan yang merugikan negara.
Ia tak gentar menghadapi mafia kelas kakap macam Roby Tjahjadi yang berupaya menyelundupkan mobil mewah di dekade awal rezim Orde Baru Soeharto.
Laku lampahnya yang tak mempan disogok, membuat polisi kelahiran Pekalongan, 14 Oktober 1921 itu kerap mendapat teror hingga perlakuan tak menyenangkan dari berbagai pihak.
Sejak masih sekolah di akademi kepolisian, Hoegeng memang menjunjung tinggi integritas sebagai Kapolri. Bahkan ia rela hidup sederhana dan pas-pasan, demi menolak berbagai gratifikasi termasuk saat baru menjabat Reserse Kriminal di Sumatera Utara.
Selama menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia ke-5, Hoegeng memang sangat gencar memerangi permasalahan akar rumput salah satunya penyelundupan yang marak saat Indonesia baru bertumbuh.
Ia tak peduli siapa yang terlibat, mulai dari Roby Tjahjadi yang menyelundupkan 8 unit Mercy hingga seorang wanita cantik yang berusaha merayunya dan mengirim hadiah agar kasus penggelapannya diselesaikan dengan jalan damai.
Keheranan Hoegeng muncul, tatkala para koleganya di kepolisian dan kejaksaan memintanya untuk melepaskan wanita tersebut. Ia bingung kenapa begitu banyak pejabat yang mau menolong sosok yang bersalah itu.
Belakangan Hoegeng mendapat kabar jika wanita tersebut tak segan-segan tidur dengan pejabat, demi memuluskan aksi penyelundupannya,
selama memimpin Reskrim di Medan, Hoegeng banyak menangani kasus perjudian termasuk penggelapan minyak nilam di Teluk Nibung ke Penang.
Suatu ketika ia berhasil menciduk anggota tentara dan polisi yang menjadi backing usaha ilegal itu. Anggota polisi yang digelandang Hoegeng saat itu berpangkat Kompol.
Merasa tak terima usahanya digagalkan tim Hoegeng, perwira itu menaruh dendam dan berupaya menyantet Hoegeng melalui perantara dukun.
Menariknya, sang dukun justru menghadap Hoegeng usai gagal menyantet dan meminta maaf karena disuruh perwira melakukan perbuatan tersebut dan berupaya menyembuhkan Hoegeng.
Putra kedua Hoegeng, Aditya Soetanto Hoegeng, pernah pula bercerita tentang perjalanan ayahandanya dan mengatakan usai dilantik sebagai Kapolri itu ayahnya mewanti-wanti kepada keluarganya agar tak memanfaatkan jabatan tersebut untuk hal yang kurang baik.
“Papi tetap mengingatkan hidup sederhana dan tidak neko-neko. Keluarga diminta tidak mengganggu urusan dirinya sebagai Menpangak dengan urusan rumah tangga,” ujarnya.
Sikap sederhana yang ditunjukkan Hoegeng itu salah satunya ditunjukkan saat menolak fasilitas negara berupa rumah dinas Kapolri di Jalan Pattimura, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Sehingga selama menjabat itu, Hoegeng dan keluarga diketahui tetap tinggal di rumahnya di Jalan Madura, Jakarta Pusat.
“Papi tidak mau rumahnya dikawal-kawal dan ada pos jaga ‘monyet’ di depan pintu masuk rumahnya. Papi ingin rumahnya terbuka dan tidak menyeramkan buat masyarakat. Dan masih banyak lagi fasilitas lainnya yang Papi tolak,” jelas Didit.
Merasa menjadi ancaman rezim Orde Baru, Hoegeng pun akhirnya dipensiunkan dini oleh Soeharto dan berupaya disingkirkan dari Indonesia dengan menawarinya jabatan sebagai diplomat di luar negeri.
Merasa ada yang tidak beres dan dihalang-halangi pemerintah, Ia memilih mundur dari institusi kepolisian dan pemerintahan untuk kembali melakoni hobi bermusiknya dan memilih menjadi pelukis dengan menggambar tokoh tokoh nasional.
Padahal, saat itu ia mendapatkan ancaman pembunuhan dari orang tak dikenal. Hoegeng akhirnya menerima pengawalan itu setelah Kepolri yang baru, Anton Soedjarwo memaksanya. Hal itu karena takut terjadi hal yang tak diinginkan terjadi.
Meskipun mempersilakan pengawalan dilakukan, namun Hoegeng meminta agar pengawalan yang dilakukan tidak mencolok dan membatasi kesehariannya bersama keluarga.
Selain jujur dan sederhana, selama berkarir di kepolisian itu Hoegeng juga dikenal akan prestasinya.
Berikut Dibawah ini adalah 16 tanda jasa yang pernah diterima Semasa Beliau Aktif dikesatuannya :
1,intang Gerilya
2,Bintang Dharma
3,Bintang Bhayangkara I
4,Bintang Kartika Eka Paksi I
5,Bintang Jalasena I
6,Bintang Swa Buana Paksa I
7,Satya Lencana Sapta Marga
8,Satya Lencana Perang Kemerdekaan (I dan II)
9,Satya Lencana Peringatan Kemerdekaan
10,Satya Lencana Prasetya Pancawarsa
11,Satya Lencana Dasa Warsa
12,Satya Lencana GOM I
13,Satya Lencana Yana Utama
14,Satya Lencana Penegak
16,Satya Lencana Ksatria Tamtama.
Bahkan Beberapa saat yang lalu Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga pernah mengutip humor satire dari Presiden ke-4 RI itu. Humor itu sempat dia sisipkan untuk menyampaikan pesan pentingnya nilai kejujuran, seperti kejujuran yang dipunyai Halimah, petugas cleaning service Bandara Soekarno-Hatta, yang mengembalikan dompet dan cek Rp 35,9 miliar milik penumpang yang tercecer.
“Polri sendiri dalam sejarah nya memang memiliki sosok Jenderal Hoegeng yang terkenal dengan kejujuran dan integritasnya dalam bertugas. Namun munculnya humor satire tentang ‘Cuma ada 3 polisi jujur di Indonesia, yaitu patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng’ seakan telah melegitimasi bahwa sangat sulit mencari polisi jujur dan berintegritas di negeri kita,” tulis Jenderal Listyo Sigit Prabowo lewat akun Instagramnya beberapa saat lalu.
Keteladanan Hoegeng diatas itu memang rasanya Sangat sulit ditiru oleh polisi saat ini. Oleh karena itu, polisi saat ini memang tidak harus menjadi Hoegeng, tapi cukup dituntut menjalankan tugasnya dengan baik dan benar.dan tidak melindungi anggotanya yang melakukan kesalahan. Apalagi kesalahannya cukup fatal dan merusak citra Korps yang telah berusia 76 Tahun ini.
Karena apa gunanya melindungi segelintir anggota yang bersalah kalau harus mempertaruhkan Kehormatan institusi yang telah lama dirintis oleh para pendahulunya yang kini telah menjadi bagian dalam catatan sejarah Bangsa Indonesia ini.
Sekian wassalam dan Semoga Bermanfaat.
Penulis by; Eko Febrianto Ketua Umum Lsm Siti Jenar yang Juga Pimpinan Perusahaan Media Online dan cetak Sitijenarnews.com dan Headline.news.info
(Red/Tim-Biro Pusat Sitijenarnews.com dan Headline.news.Info)