Sitijenarnews.com Jakarta Selasa 19 Juli 2022;Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keaman Mahfud MD menyatakan, dalam penegakan hukum, terdapat pendekatan yang disebut dengan restorative justice.
Menurut Mahfud, pendekatan ini diyakini dapat membuat penegakan hukum di Indonesia lebih efisien untuk kasus tertentu.
“Restorative justice adalah pendekatan dalam penegakan hukum pidana yang mengusahakan penyelesaian secara damai, serta menjadikan hukum sebagai pembangun harmoni,” tutur Mahfud MD
Lebih lanjut, Mahfud menyatakan, dalam pendekatan restorative justice, hukum bukan sekadar mencari menang dan kalah. Melalui pendekatan ini, penegakan hukum bukan hanya bertujuan menghukum pelaku.
Pendekatan ini, lanjutnya, membangun kondisi keadilan dan keseimbangan antara pelaku kejahatan, korban kejahatan, dan publik secara luas. Manfaat dari pendekatan ini, tambah Mahfud, selain bikin efisiensi penanganan hukum lantaran tidak akan terlalu banyak perkara yang masuk ke pengadilan, juga bermanfaat menangkal gejolak sosial politik di masyarakat.Tujuannya, untuk dapat menjaga harmoni, keamanan, dan ketertiban di masyarakat,” ujar eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini.
Namun demikian, pakar hukum tata negara inu menegaskan, tidak setiap perkara melawan hukum dapat diselesaikan dengan pendekatan restorative justice. Khususnya pidana berat, seperti tindakan, korupsi, dan terorisme.
Seperti Kita Ketahui Bersama Bukan Hanya Kejaksaan yang Mengenjot Penerepan ini tapi Kepolisian juga, Termaktub pula Lewat telegram, Kapolri juga pernah menyatakan tindak pidana yang dapat diselesaikan dengan cara restorative justice yaitu kasus-kasus pencemaran nama baik, fitnah, atau penghinaan.
“Tak semua diselesaikan secara rembuk, tidak boleh. Hanya yang menyangkut tindak pidana ringan. Di Surat Edaran Kapolri terbaru itu, terorisme, tak ada negosiasi, tak ada restorative justice,” tegas Mahfud.
Senada disampaikan oleh pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar, Bahwa Penghentian kasus pidana dengan keadilan restoratif atau restorative justice, juga tidak berlaku untuk kasus pembunuhan. Hal itu ditegaskan pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar dalam perbincangan hari Senin (18/7/2022).
“Dalam perkara-perkara yang berat, pembunuhan misalnya, menurut saya, itu tidak bisa diselesaikan dengan keadilan restoratif. Tidak semuanya bisa diselesaikan dengan restorative justice,” jelasnya.
Menurut Abdul Fickar, kebanyakan penyelesaian kasus secara keadilan restoratif dilakukan pada tindak pidana yang tidak mengakibatkan kematian fisik atau orang.
“Itu berlaku hanya untuk tindak pidana ringan, pencemaran nama baik, penganiayaan yang ringan. Semua itu bisa diselesaikan secara restorative justice, dalam pengertian tidak sampai ke pengadilan,” terangnya.
Ia beralasan jika keadilan restoratif diterapkan pada kasus pembunuhan, maka pelaku akan menganggap enteng kasus pembunuhan.
“Nanti orang akan menganggap, oh enak membunuh saja, toh nanti bisa ganti rugi dan kita bayar selesai, dan kita enggak dihukum. Nah, itu yang harus dihindari,” ujarnya.
Karena itu, kasus pembunuhan tidak bisa dilakukan dengan keadilan restoratif meskipun pelaku mengaku membunuh dan membayar ganti rugi kepada keluarga korban.
“Itu tetap perkaranya berjalan di pengadilan kalau pembunuhan yang mengakibatkan kematian,” ucap Fickar.
Ia juga sangat mengapresiasi langkah Kejaksaan Agung menghentikan 1.334 kasus pidana dengan keadilan restoratif.
“Restorative justice mengedepankan kerugian yang diderita oleh korban,” jelasnya.Menurutnya, ada tiga keuntungan dari penerapan keadilan restoratif.
“Pertama, si pelaku tidak masuk penjara karena tidak dituntut secara pidana,” kata Fickar.
Kedua, lanjutnya, kerugian korban pun bida diakomodasi atau dipenuhi serta bisa dipulihkan.
“Misalnya harus mengeluarkan ongkos di rumah sakit maka itu akan menjadi tanggung jawab pelaku,” tegasnya.
Dan ketiga, kata dia, keadilan restoratif akan membuat penyelesaian hukum tidak menjadi berbelit.
“Artinya diselesaikan secara sederhana bahwa ada orang yang bersalah yaitu pelaku. Bahwa ada korban dengan pendekatan restoratif, korban itu bisa dipulihkan kerugiannya tapi proses hukumnya tidak sampai ke pengadilan,” pungkasnya.
DIkutip dari Proses penegakan hukum melalui pendekatan keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan Kejaksaan mengacu pada Peraturan Jaksa Agung (Perja) No.15 Tahun 2020.
Dan Sejak dikeluarkannya Perja tesebut, sudah ribuan perkara telah dihentikan oleh jaksa di seluruh Indonesia.
Untuk diketahui dan Sekedar Tambahan Informasi; Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.
Restorative justice itu sendiri memiliki makna keadilan yang merestorasi, apa yang sebenarnya direstorasi? Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas. Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku.
Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. Kenapa hal ini menjadi penting? Karena proses pemidanaan konvensional tidak memberikan ruang kepada pihak yang terlibat, dalam hal ini korban dan pelaku untuk berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah mereka.
Setiap indikasi tindak pidana, tanpa memperhitungkan eskalasi perbuatannya, akan terus digulirkan ke ranah penegakan hukum yang hanya menjadi jurisdiksi para penegak hukum. Partisipasi aktif dari masyarakat seakan tidak menjadi penting lagi, semuanya hanya bermuara pada putusan pemidanaan atau punishment tanpa melihat esensi.
Dalam proses acara pidana konvensional misalnya apabila telah terjadi perdamaian antara pelaku dan korban, dan sang korban telah memaafkan sang pelaku, maka hal tersebut tidak akan bisa mempengaruhi kewenangan penegak hukum untuk terus meneruskan perkara tersebut ke ranah pidana yang nantinya berujung pada pemidanaan sang pelaku pidana. Proses formal pidana yang makan waktu lama serta tidak memberikan kepastian bagi pelaku maupun korban tentu tidak serta merta memenuhi maupun memulihkan hubungan antara korban dan pelaku, konsep restorative justice menawarkan proses pemulihan yang melibatkan pelaku dan korban secara langsung dalam penyelesaian masalahnya.
Proses pidana konvensional hanya menjadikan korban nantinya sebagai saksi dalam tingkat persidangan yang tidak banyak mempengaruhi putusan pemidanaan, tugas penuntutan tetap diberikan terhadap Jaksa yang hanya menerima berkas-berkas penyidikan untuk selanjutnya diolah menjadi dasar tuntutan pemidanaan, tanpa mengetahui dan mengerti kondisi permasalahan tersebut secara riil, dan sang pelaku berada di kursi pesakitan siap untuk menerima pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.
Kewenangan untuk menyampingkan perkara pidana itu sendiri dikenal sebagai perwujudan asas oportunitas yang hanya dimiliki oleh Jaksa Agung. Dalam praktiknya pun sebenarnya di tingkat penyidikan kepolisian sering terbentur dengan tata acara pidana formil apabila hendak mengesampingkan sebuah perkara pidana, diskresi yang dimiliki oleh polisi tidak melingkupi kewenangannya untuk menilai sebuah perkara untuk terus dilanjutkan atau dihentikan, takarannya hanya terbatas pada bukti tindak pidana yang cukup. Apabila ada bukti telah terjadi sebuah tindak pidana, polisi akan terus meneruskan perkara tersebut.
Oleh karena itu di dalam RUU KUHAP yang terbaru perlu didorong pendekatan penanganan tindak pidana yang lebih humanis, lebih menekankan dan mendahulukan pendekatan restorative justicedibandingkan pertimbangan legalistik yang formil.
(Red/Tim-Biro Pusat Sitijenarnews)