Kali ini mari kita Menyibak Tabir apa saja Perbedaan antara Wanprestasi dan Penipuan? Dan Mari kita Simak Ulasan Selengkapnya di bawah ini

Sitijenar.News Kamis 3 Februari 2022; Wanprestasi dan Penipuan seakan menjadi hal yang tipis perbedaannya. Hal ini dikarenakan, pelaku penipuan bahkan membingkai kebohongannya selayaknya hubungan kontraktual melalui perjanjian yang sah dan meyakinkan korban dengan segala formalitas kerangka perjanjian di ranah perdata.

 

Menyibak secara lengkap apa saja Tabir Perbedaan Wanprestasi dan Penipuan

Banyak yang membawa perkara perdata menjadi perkara pidana, hingga lahirlah istilah “kriminalisasi perkara perdata”. Yang semula adalah persoalan dan berbasis pada perjanjian atau kontrak bisnis komersial, kemudian terjadi wanprestasi. Namun, untuk “menekan” pihak yang wanprestasi akhirnya berujung pada pengaduan pidana penipuan dan penggelapan.

 

Begitu juga sebaliknya, banyak pelaku penipuan yang berlindung dibalik “perjanjian” sehingga menghindari jerat pidana dan membawa persoalan yang timbul seolah hanya wanprestasi di ranah perdata. Lalu bagaimana memahami perbedaannya?

Secara definitif, wanprestasi adalah kelalaian salah satu pihak dalam memenuhi prestasi yang telah ditentukan dalam sebuah perjanjian. Menurut Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang dimaksud dengan prestasi adalah seseorang yang menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu, dan tidak melakukan sesuatu.

 

 

Sebaliknya, sokoguru keperdataan, Prof Subekti telah menjelaskan apa saja yang dianggap memenuhi wanprestasi, yaitu adalah apabila seseorang tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya; melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan; melakukan sesuatu yang menurut kontrak tidak boleh dilakukannya; dan melakukan apa yang dijanjikan, namun terlambat.

 

 

Sedangkan, penipuan adalah perbuatan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana) pada Bab XXV tentang Perbuatan Curang yang dijelaskan sebagai berikut:

 

 

“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat (hoedaningheid) palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutan maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana paling lama empat tahun”

Berdasarkan rumusan tersebut, dapat diketahui bahwa unsur-unsur dalam penipuan adalah:

 

Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum;

 

Menggerakan orang untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang; dan

 

Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan (memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan).

 

 

 

Berikut dibawah ini adalah Batas Pembeda antara Keduanya

 

Yang menjadi unsur kesamaan antara wanprestasi dan penipuan terletak pada awal hubungan hukum kedua persoalan tersebut. Hubungan hukum keduanya sama-sama lahir atas hubungan kontraktual.

 

Namun ada perbedaan yang menjadi garis batas dari wanprestasi maupun penipuan. Garis batas tersebut terlihat pada karakteristik yang menghiasi keduanya. Perlu diketahui, hal mendasar untuk memahami konsep wanprestasi dan penipuan ketika kontrak dibuat atau ditutup adanya rangkaian kata bohong, tipu muslihat, dan keadaan palsu.

Baca juga:  Lakalantas Motor Vs Truck Diesel Akibatkan 2 Orang Luka Berat Kembali Terjadi Di Pantura Kota Timur Besuki Siang ini

 

 

Batas pembeda antara wanprestasi dan penipuan terletak pada tempus delicti ketika kontrak itu ditutup/ditandatangani. Apabila setelah (post factum) kontrak ditutup, diketahui adanya tipu muslihat, keadaan palsu atau rangkaian kata bohong dari salah satu pihak, maka perbuatan itu merupakan wanprestasi.

 

 

Lebih jauh, advokat Boris Tampubolon, S.H. menerangkan ada 2 (dua) indikator yang bersifat kumulatif (harus terpenuhi kedua-duanya) untuk membedakan apakah suatu kasus itu wanprestasi atau penipuan dalam konteks hubungannya dengan perjanjian, yaitu soal waktu dan rangkaian kata bohong.

 

 

Karakteristik wanprestasi dan penipuan berakar pada hubungan hukum yang terjadi diantara para pihak selalu “ didahului “ atau “ diawali ” dengan hubungan hukum kontraktual.

 

 

Letak batasan antara wanprestasi dan penipuan dalam konteks perjanjian pada “ tempus delictinya ” atau waktu perjanjian/kontrak itu ditutup/disepakati oleh kedua belah pihak. Bila setelah (post factum) kontrak ditutup diketahui ada tipu muslihat, rangkaian kata bohong atau keadaan palsu dari salah satu pihak, maka perbuatan itu adalah wanprestasi.

 

 

Jika sebelum (ante factum) kontrak/perjanjian ditutup ada tipu muslihat, rangkaian kata bohong atau keadaan palsu dari salah satu pihak, keadaan atau tipu muslihat itu telah disembunyikan oleh salah satu pihak, maka perbuatan itu merupakan penipuan.

 

 

Adanya serangkaian kata bohong atau keadaan palsu sebelum atau setelah kontrak ditutup/disepakati menentukan “niat” seseorang.

 

Jika sebelum kontrak ditutup sejak awal sudah ada niat tidak baik maka hal ini merupakan perbuatan penipuan. Sebaliknya jika setelah kontrak ditutup niat tidak baik seseorang itu timbul, maka ini merupakan perbuatan wanprestasi.

Nah Dibawah Ini adalah Fenomena yang banyak Terjadi di Masyarakat;

 

 

Konsep perjanjian pada dasarnya adalah hubungan keperdataan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek (B.W.). Apabila orang yang berjanji tidak memenuhi janji yang telah ditentukan, maka berdasarkan Pasal 1365 B.W., orang tersebut dapat disebut telah melakukan wanprestasi atau cidera janji.

Namun, pada praktiknya, ada orang-orang yang dilaporkan ke Polisi karena tidak memenuhi janji yang telah ditentukan. Umumnya, pihak pelapor merasa bahwa orang tersebut telah menipu pelapor karena janji yang harus dilaksanakan ternyata tidak dipenuhi, padahal pelapor telah menyerahkan barang dan/atau uang kepada orang tersebut.

 

 

Kondisi ini menimbulkan permasalahan hukum kapan seseorang yang tidak memenuhi sebuah perjanjian dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi, sehingga penyelesaian perkaranya harus dilakukan secara perdata, dan kapan orang tersebut dapat dikatakan telah melakukan penipuan yang penyelesaian perkaranya dilakukan secara pidana.

 

Berikut Sikap Sikap Mahkamah Agung terkait hal semacam ini yang lagi marak terjadi belakangan ini.

Baca juga:  Berikut dibawah ini Dokumentasi Utuh Detik - detik KM MILA Jawa Indah jurusan Kalbut Situbondo - Sapudi Sumenep yang Tenggelam Siang ini

 

Atas permasalahan tersebut, Mahkamah Agung telah konsisten berpendapat bahwa apabila seseorang tidak memenuhi kewajiban dalam sebuah perjanjian, dimana perjanjian tersebut dibuat secara sah dan tidak didasari itikad buruk, maka perbuatan tersebut bukanlah sebuah penipuan, namun masalah keperdataan, sehingga orang tersebut harus dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum. Pandangan ini dapat ditemukan dalam Putusan No. 598K/Pid/2016 (Ati Else Samalo) yang menyebutkan bahwa:

 

 

Terdakwa terbukti telah meminjam uang kepada saksi Wa Ode Ikra binti La Ode Mera (saksi korban) sebesar Rp4.750.000,00(empat juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah), namun Terdakwa tidak mengembalikan hutang tersebut kepada saksi korban sesuai dengan waktu yang diperjanjikan, meskipun telah ditagih berulang kali oleh saksi korban, oleh karenanya hal tersebut sebagai hubungan keperdataan bukan sebagai perbuatan pidana, sehingga penyelesaiannya merupakan domain hukum perdata, dan karenanya pula terhadap Terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum

 

Pandangan serupa juga tercantum dalam beberapa putusan. Diantaranya.

Pertama, Putusan No. 1357 K/Pid/2015 (Hein Noubert Kaunang), yang menyatakan:

 

 

Bahwa berdasarkan fakta tersebut, Mahkamah Agung berpendapat bahwa hubungan hukum yang terjalin antara para Terdakwa Dengan saksi korban adalah hubungan keperdataan berupa hubungan hutang piutang dengan jaminan sebidang tanah kebun dan tanah atau rumah milik para Terdakwa, dan ternyata dalam hubungan hukum tersebut para Terdakwa melakukan ingkar janji atau wanprestasi dengan cara tidak menyerahkan tanah kebun dan tanah atau rumah miliknya kepada saksi korban.

Perbuatan para Terdakwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, akan tetapi perbuatan para Terdakwa tersebut merupakan perbuatan yang bersifat keperdataan yang penyelesaiannya dapat ditempuh melalui hukum keperdataan.

 

Kedua, Putusan No. 1316 K/Pid/2016 (Linda Wakary), yang menyatakan:

Karena kasus ini diawali dengan adanya perjanjian jual beli antara Saksi korban dengan Terdakwa dan Terdakwa tidak memenuhi kewajibannya dalam perjanjian itu, oleh karenanya perkara a quo adalah masuk lingkup perdata. Sehubungan dengan itu, maka Terdakwa harus dilepas dari segala tuntutan hukum.

 

 

Ketiga, Putusan No. 1336 K/Pid/2016 (Agusmita) yang menyatakan:

 

 

Bahwa sekiranya dikemudian hari saksi Apriandi tidak bisa mengembalikan pinjaman uang kepada saksi korban diantaranya disebabkan karena Terdakwa juga belum membayar pinjamannya kepada saksi Apriandi, maka permasalahan tersebut merupakan dan masuk ranah hukum perdata yang secara yuridis harus diselesaikan di hadapan Hakim perdata.

 

 

Keempat, Putusan No. 902 K/Pid/2017 (Asmawati) yang menyatakan:

 

 

Bahwa perkara a quo bermula dari adanya pinjam meminjam sejumlah uang antara Terdakwa dengan korban, namun pada saat jatuh tempo yang dijanjikan Terdakwa tidak bisa mengembalikan pinjaman tersebut, sehingga merupakan hutang dan masuk ranah perdata, sehingga penyelesaiannya melalui jalur perdata.

Baca juga:  Anggota Polhut bersama Sat Itelkam Polres Berhasil Mengamankan Diduga Pelaku Pemburu di Taman Nasional Baluran

 

 

Dari putusan-putusan tersebut terlihat bahwa pada dasarnya, suatu perkara yang diawali dengan adanya hubungan keperdataan, seperti perjanjian, dan perbuatan yang menyebabkan perjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan terjadi setelah perjanjian tersebut dibuat, maka perkara tersebut adalah perkara perdata dan bukan perkara pidana.

 

 

Hal ini juga sejalan dengan yang disebutkan dalam Putusan No. 1601 K/Pid/1990 yang menyatakan bahwa apabila perbuatan yang mengakibatkan gagalnya perjanjian terjadi setelah perjanjian dilahirkan, maka akibat hukum yang timbul adalah wanprestasi yang merupakan ranah hukum perdata.

 

 

Pandangan ini juga ditemukan dalam Putusan No. 43 K/Pid/2016 (Haryono Eddyarto), No. 1327 K/Pid/2016 (Apriandi), No. 342 K/Pid/2017 (Markus Baginda), danNo. 994 K/Pid/2017 (Aprida Yani).

 

Namun demikian tidak semua perbuatan tidak melaksanakan kewajiban perjanjian tidak dapat dipandang sebagai penipuan. Apabila perjanjian tersebut dibuat dengan didasari itikad buruk dan niat jahat untuk merugikan orang lain, maka perbuatan tersebut bukan merupakan wanprestasi, tetapi tindak pidana penipuan.

 

Pandangan ini terdapat dalam putusan No. 1689 K/Pid/2015 (Henry Kurniadi) yang menyebutkan bahwa:

 

 

Bahwa alasan kasasi Terdakwa yang menyatakan kasus Terdakwa bukan kasus pidana melainkan kasus perdata selanjutnya utang piutang, antara Terdakwa dengan Astrindo Travel tidak dapat dibenarkan karena Terdakwa dalam pemesanan tiket tersebut telah menggunakan nama palsu atau jabatan palsu, hubungan hukum keperdataan yang tidak didasari dengan kejujuran,dan itikad buruk untuk merugikan orang lain adalah penipuan.

 

Putusan lain yang menyatakan hal serupa adalah Putusan No. 366K/Pid/2016 (I Wayan Sunarta) yang menyatakan dengan tegas bahwa perjanjian yang didasari dengan itikad buruk atau niat jahat untuk merugikan orang lain bukan wanprestasi tetapi penipuan dan Putusan No. 211 K/Pid/2017 (Erni Saroinsong) yang pada intinya menyatakan bahwa meskipun hubungan hukum antara Terdakwa dan Saksi Korban Robert Thoenesia awalnya pinjam meminjam uang sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk modal kerja proyek pengadaan bibit kakao Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan.

 

 

Namun, sebelum melakukan pinjaman tersebut Terdakwa telah memiliki itikad tidak baik kepada Saksi Korban Robert Thoenesia, maka perbuatan materiil Terdakwa telah memenuhi seluruh unsur Pasal 378 KUHP (penipuan).

 

 

Berdasarkan uraian di atas Mahkamah Agung menilai suatu perbuatan termasuk sebagai penipuan atau masalah keperdataan harus dilihat apakah perjanjian tersebut didasari atas itikad buruk/tidak baik atau tidak.

Menyibak secara lengkap apa saja Tabir Perbedaan Wanprestasi dan Penipuan

Sekian Semoga Ulasan Lengkap Diatas tersebut Bisa Bermanfaat dan Menambah wawasan kita tentang apa itu Perbedaan Wanprestasi dan Penipuan.

Wassalam.

Penulis by; Eko Febrianto Pimpinan Redaksi dan Perusahaan Media Online dan cetak Sitijenar.news dan Headline,News.Info.

 

(Red/Tim)

error: