Sitijenarnews.com Jakarta Minggu 17 Juli 2022; Hoegeng Imam Santoso lahir di Pekalongan, 14 Oktober 1921. Dia adalah sosok yang disegani di kalangan Kepolisian Republik Indonesia. Walaupun hanya menjabat tiga tahun sebagai Kapolri, namun Hoegeng telah membawa perubahan besar dalam tubuh Kepolisian Republik Indonesia.
Selain itu, sikap tegas, bersih, sederhana, dan jujur membuat namanya menjadi legenda di kalangan kepolisian. Bahkan dia rela hidup pas-pasan demi menjaga integritas. Pelaku kejahatan bahkan tak berkutik selama Polri berada di bawah kepemimpinannya.
Sikap Hoegeng yang sederhana, terbuka, jujur, dan tak mau kompromi merupakan cerminan sikap antikorupsi yang ditonjolkan mantan Kapolri tersebut. Dari hal-hal sederhana yang dilakukan Hoegeng setiap hari di kantornya, menjadikan wujud komitmennya dalam menolak apapun yang bisa mengarah pada tindakan dan perbuatan korupsi.
Hoegeng diangkat menjadi Kepala Kepolisian Negara pada 1969, namanya kemudian berubah menjadi Kapolri, menggantikan Soetjipto Joedodihardjo. Hoegeng mengakhiri masa jabatannya pada tanggal 2 Oktober 1971 dan digantikan oleh Mohamad Hasan.
Menurut Sekretaris Hoegeng, Soedartho Martopoespito atau akrab disapa Dharto, saat berjumpa dengan tamu di kantor, Hoegeng tidak pernah melakukan pembicaraan secara tertutup. Dia menggelar pertemuan itu di hadapan anak buah tanpa ada yang dirahasiakan.
“Di dengar oleh siapa pun di ruangannya. Ini menunjukkan langkah awal mencegah korupsi,” kata Dharto seperti yang dikutip dari Hoegeng Polisi dan Menteri Teladan, Sabtu (16/7/2022).
Sikap mencegah korupsi juga ditunjukkan saat Hoegeng menolak setiap pemberian dan hadiah berupa barang rumah tangga, mobil, atau motor, dari siapa pun yang diyakininya bisa memengaruhi sikapnya bekerja.
Sebagai pejabat, kata Dharto, Hoegeng juga tidak mau aji mumpung untuk memanfaatkan jabatannya untuk mengumpulkan harta kekayaan sebanyak-banyaknya. Ia pun menolak fasilitas-fasilitas terkait jabatannya yang dinilai berlebihan meskipun hal itu dimungkinkan secara aturan seperti pemberian kavling tanah, rumah, atau mobil dinas. Bahkan termasuk pengawalan sehari-hari dan penjagaan di depan rumahnya.
Saat Hoegeng terbaring sakit dan dirawat, putranya yang bernama Didit bertanya kepada sang ayahanda tentang cara memberantas korupsi. Menurut Hoegeng, memberantas korupsi di Indonesia sebenarnya mudah.
“Kalau mau menghilangkan korupsi di negeri ini, sebenarnya gampang. Ibaratnya kalau kita harus mandi dan membersihkan badan, itu semuanya harus dimulai dari atas ke bawah. Membersihkan korupsi juga demikian. Harus dimulai dengan cara membersihkan korupsi di tingkat atas atau pejabatnya lebih dulu, lalu turun ke badan atau level pejabat eselonnya, dan akhirnya ke kaki hingga telapak atau ke pegawai di bawah,” jelas Hoegeng.
Didit kemudian menceritakan bagaimana ayahnya tidak membiasakan menerima gratifikasi dengan cara yang paling sederhana seperti menolak setiap bingkisan dari Kepala Kepolisian di daerah (Kapolda, dulu disebut Kadapol) sepulangnya melakukan kunjungan kerja ke daerah.
“Papi itu kalau kunjungan kerja di daerah selalu menggunakan pesawat milik kepolisian sendiri meskipun kondisi kurang baik. Dia tak mau menggunakan pesawat komersial karena akan memboroskan anggaran kepolisian,” ujar dia.
Setiap pulang kunjungan kerja, Didit melanjutkan, para Kadapol (Kapolda) selalu memberikan bingkisan berupa makanan atau buah-buahan dan lainnya. Bingkisan itu sudah diletakkan di pesawat sebelum Hoegeng naik.
“Namun saat Papi melihat bingkisan-bingkisan itu, ia turun lagi dan minta bingkisan-bingkisan itu diturunkan. Papi tidak mau terbang sebelum barang-barang tersebut disingkirkan dari pesawat,” tutur Didit.
(Red/Tim-Biro Pusat Sitijenarnews)