Merespon banyaknya Oknum Jurnalis di daerah yang Saat ini Dijuluki Penjilat Penguasa; Haruskah Profesi Wartawan ini berubah menjadi Profesi Para Penjilat?
Sitijenarnews.com Minggu 5 Juni 2022; Jika Anda seorang wartawan dan mengetahui ada pejabat melakukan perbuatan tercela, bahkan menjadikan wartawan alat untuk bersekongkol menggorogoti APBD dengan cara-cara korup, dan Anda ikut pula di dalamnya, dengan anda berdiam seribu bahasa?. Kredibelitas status wartawan yang Anda sandang itu sangatlah patut untuk dipertanyakan.
Namun jika Anda memang benar seorang wartawan dan mengetahui ada oknum pejabat melakukan perbuatan tercela dengan bermain dengan Dana APBD. dan Anda mengingatkannya dengan Sebuah tulisan Berita, itu anda masih memiliki naluri seorang wartawan yang sesungguhnya ” karena itulah fungsi sebenarnya keberadaan anda sebagai insan Pers. karena Jurnalis adalah Pilar Ke Empat dalam Sistem Demokrasi kita. Sebagai Lembaga kontrol yang melekat.
Karena Seperti kita ketahui bersama dan Secara umum, fungsi serta peranan pers adalah sebagai media informasi, media pendidikan, media hiburan, sebagai lembaga ekonomi, dan yang pasti sebagai media kontrol sosial.
Mantan Ketua Dewan Pers Bagir Manan dulu pernah berkata, bahwa perusahaan pers boleh bermitra dengan pemerintahan. Bahkan perusahaan pers memiliki hak untuk mendapatkan APBD lewat kerjasama pemberitaan lewat kehumasan. Namun jika perusahaan pers bermitra dengan pemerintahan, Akan tetapi wartawannya tak boleh jadi penjilat pejabat di pemerintahan tersebut. Wartawan harus mengkritisi dan menjalankan fungsi Jurnalisnya.
Belakangan ini, khususnya di daerah – daerah utamanya di Kawasan Tapal Kuda Jatim muncul fenomena bahwa bermitra dengan pemerintahan lewat jalur humas, wartawan yang meliput di pemerintahan itupun harus menjadi “ekor” pejabat tertentu. Khususnya dari pejabat dihumas itu. Jadinya wartawan, beralih jadi oknum wartawan penjilat yang hanya memuja-puja pejabat di humas itu agar kebagian porsi dana APBD lebih gede.
Bahkan ada oknum yang mengaku sebagai wartawan, atau mengaku sebagai pemilik media, atau mengaku sebagai pengusaha media, dengan gegap gempita membela habis-habisan pejabat gaya mirip humas saja. dengan “label” harga diri karena identitasnya terseret dalam satu pemberitaan miring soal dugaan Korupsi.
Bahkan oknum pejabat yang “brengsek” itu memanfaatkan oknum wartawan untuk melawan wartawan yang menulis bobrok yang terjadi di salah satu Pemkab di Jawa Timur . Misalnya memutar fakta dan cerita yang sebenarnya, dengan semau-gue dengan Dalil adanya ikatan kerjasama (advertorial). Bahkan hingga persekongkolan dengan dalil advertorial dengan oknum wartawan dengan oknum pejabat tersebut.
Bahkan pernah melihat dan didepan mata saya sendiri, serta pengakuan dari salah satu oknum wartawan media online menerima dana kerjasama pemberitaan pada Medio Januaru-Februari, Maret, April, Mei hingga mencapai Rp 40 Juta. Padahal itu media online loh. Tapi tagihannya kok gede banget.
Timbul dalam benak saya kalau itu, mungkin pejabat di kota itu hingga ke kamar mandipun mungkin juga diberitakan. Sehingga bisa tagihan hingga Rp 40 Juta Ngeri kan!!!,
Modus bagi hasil dalam menggarong uang Negara inilah yang menghantui penggiat pers (oknum wartawan) yang bermitra dengan humas di semua Pemkab belakangan ini, khususnya media siber atau media cetak harian dan mingguan.
Bahkan para pejabat daerah melalui pegawai humas nya itu selalu menampatkan dirinya bahwa merekalah yang punya duit itu, bukan duit APBD.
“Awak Media itu akan dimusuhi karena kalau mereka berperan sebagai media pilar demokrasi yang lurus pasti mereka akan menjadi musuh penguasa itu sendiri biasanya. Memang di lapangan masih juga banyak awak media baik media mainstream, media-media online yang berusaha untuk tegak lurus. Tapi pasti sering mendapat kendala, seperti ketidakadilan dan Kriminalisasi. karena seperti kita ketahui FORKOPIMDA di Daerah Tapal Kuda Jatim khususnya itu Kompak kalau urusan Begituan.
Kalau kita Sejenak Mengutip Seruan Dewan Pers tentang Pemuatan Rubrik Pemberitaan yang Bertujuan Kehumasan yang diterbitkan Rabu, 07 Februari 2007 lalu, Seruan Dewan Pers, tentang, Pemuatan Rubrik Pemberitaan yang Bertujuan Kehumasan.
Dewan Pers akhir-akhir ini banyak sekali menerima laporan dari masyarakat, termasuk di antaranya pejabat pemerintah dan pengamat masalah pers, bahwa di beberapa daerah telah beredar penawaran untuk mengadakan kontrak kerja sama bagi penyediaan rubrik pemberitaan tertentu di media pers. Untuk menyajikan rubrik khusus ini, yang agaknya dimaksudkan sebagai bagian dari kegiatan kehumasan lembaga-lembaga pemerintahan, dikenai pembayaran seperti layaknya pemuatan iklan.
Penawaran kontrak “kerja sama pemberitaan” ini diajukan oleh pihak pengelola atau manajemen media pers kepada lembaga pemerintahan, seperti Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Mereka ditawari untuk membuka rubrik khusus yang memuat pemberitaan mengenai kegiatan lembaga tersebut.
Ada lembaga pemerintahan yang berminat mengadakan kontrak kerja sama ini, tentunya dengan tujuan untuk membantu mempromosikan kegiatan lembaga tersebut. Akan tetapi, ada pula lembaga pemerintahan yang tidak bersedia membuka rubrik serupa ini. Salah satu alasan penolakan kontrak kerja sama itu, seperti yang disampaikan kepada Dewan Pers oleh seorang kepala pemerintah daerah, ialah “untuk menjaga independensi pers agar dapat melaksanakan tugasnya secara sehat dan profesional.”
Nah apa lantas Saran Dewan Pers:
Sehubungan dengan beredarnya penawaran kontrak “kerja sama pemberitaan” sebagaimana diuraikan di atas, Dewan Pers menyerukan kepada para pengelola media pers agar tidak menjalankan kebijakan redaksional yang diskriminatif terhadap kalangan baik yang mengadakan maupun yang tidak mengadakan kontrak seperti itu.
Dengan kata lain, narasumber dan objek pemberitaan dari kedua kalangan tersebut tetap diperlakukan secara adil sesuai dengan standar profesional pers dan kode etik jurnalistik.
Selain itu, Dewan Pers menyarankan hal-hal sebagai berikut:
Rubrik khusus di media pers dengan memungut pembayaran lazimnya diperlakukan sebagai semacam iklan atau paid article (tulisan yang dibayar oleh pemberi order pemuatan). Di Indonesia, rubrik demikian dikenal juga dengan penamaan, antara lain, “pariwara” atau “advertorial”. Akhir-akhir ini muncul pula rubrik sejenis iklan dengan judul “seremonia”.
Sebagai rubrik iklan, pariwara, advertorial, seremonia, atau paid article, maka desain atau layout halaman tersebut haruslah tampil beda dari tata letak yang lazim digunakan untuk halaman-halaman bagi rubrik tulisan dan ilustrasi pemberitaan. Kata-kata seperti “Iklan”, “Pariwara”, “Advertorial”, “Seremonia”, atau “paid article” juga harus tercantum pada halaman rubrik tersebut untuk membedakan dari rubrik-rubrik yang lain.
Menurut kelaziman, juga terdapat perbedaan dalam jenis-jenis huruf yang digunakan pada rubrik-rubrik yang berbeda-beda pula tujuannya. Dengan demikian, bagi rubrik iklan dan semacamnya sebaiknya digunakan jenis huruf yang berbeda dari huruf-huruf untuk rubrik berita dan rubrik opini yang lebih mengandung karya jurnalistik murni.
Perbedaan tersebut dimaksudkan agar para pembaca sejak awal sudah mengetahui dan dapat segera membedakan antara sajian karya jurnalistik dan sajian iklan atau materi sejenisnya.
Perbedaan dalam cara penyajian dan penampilan rubrik-rubrik yang berbeda-beda itu juga lazim berlaku pada media siaran.
Hal itu Ditulis dan Disahkan di (Jakarta, 14 November 2002-Dewan Pers- Dto Atmakusumah Astraatmadja-Ketua.)
Nah Kembali Ke Topik Pembahasan inti kita;
Memang Secara kodrat wartawan memang harus menjadi kontrol jalannya pemerintahan. Wartawan harus bersikap kritis dan mengawal kebijakan negara agar selalu pro rakyat. Namun kenyataannya kodrat wartawan ini kerap dibenci instansi pemerintah, utamanya para pejabat yang berlaku korup.
Dengan alasan menjalin kemitraan, instansi pemerintah menyisihkan alokasi anggaran untuk wartawan. Sebenarnya bukan untuk kemitraan. Namun lebih tepatnya saya kira itu adalah “dana pengamanan”.
Dana pengamanan ini adalah bentuk suap, agar perilaku wartawan bisa dikendalikan sesuai kemauan mereka. Jika ada berita miring, agar dipoles menjadi lebih halus dan meninggalkan kesan memojokan. Jika ada prestasi diminta untuk melakukan blow up besar-besaran.
Kita harus ingat, alokasi dana untuk wartawan tersebut bukan diambil dari kantong pribadi. Alokasi tersebut diambilkan dari uang rakyat (APBD). Bahkan beberapa daerah terang-terangan memasukan poin alokasi dana wartawan ini dalam APBD.
Pertanyaannya, “bolehkah APBD dialokasikan untuk wartawan?” Jawabannya jelas: Sangat tidak boleh!
Sebab antara instansi pemerintahan dan wartawan, keduanya berada di “perusahaan” yang berbeda. Instansi pemerintahan sebagai perusahaan mempunyai karyawan, yaitu rakyat. Sedangkan wartawan sebagai buruh punya induk perusahaan, yaitu perusahaan pers(misalnya: Kompas, Jawa Pos, Sindo dan sebagainya).
Alokasi APBD untuk wartawan jelas haram
rakyat berhak marah jika ada alokasi APBD untuk wartawan. Rakyat berhak menolak dan menuntut alokasi tersebut dihapus.
Di antara organisasi Pers yang ada, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tegas menolak APBD untuk wartawan. AJI pernah dulu melakukan demonstrasi di Kediri, karena pemerintah setempat mencantumkan dana buat wartawan. Beberapa personil AJI juga melakukan hal serupa di Tulungagung.
Namun ada pula organisasi Pers yang selalu “menyusu” ke pemerintah daerah. Mereka berupaya ada alokasi dana dari uang negara untuk organisasi mereka. Bahkan tidak segan membuat berbagai kegiatan, dengan harapan bisa mengajukan dana sponsor ke instansi pemerintahan.
Dalam hati saya berpikir, “jika organisasi wartawannya saja bersikap *(bodrek), apa yang diharapkan dari anggotanya?” Apa yang bisa diharapkan dari perilaku insan pers yang menyusu kepada dana negara? Dimana letak independensi mereka?
Memanglah secara general, hal itu bisanya terjadi karena oknum awak media-media tersebut terdesak dari segi finansial.
Karena itu, sudah saatnya rakyat mengambil sikap untuk memberikan kontrol terhadap perilaku pers. Caranya dengan mendirikan lembaga-lembaga “media watch”. Hantam Mereka di Media Sosial anda masing masing. Anda dan kalian punya hak dan Kewajiban mengritisi semua aspek pers.
Mulai dari perilaku wartawannya, cara bisnis perusahaan pers, sampai pada menolak alokasi dana negara (APBN/APBD) untuk wartawan. Rakyat berhak marah dan menghukum pers yang menikmati “bocoran” uang negara.
Wartawan memang harus sejahtera agar mampu bersikap profesional. Caranya, wartawan harus menuntut ke perusahaan pers tempatnya bekerja. Bukan menuntut alokasi dana yang diambilkan dari APBD/APBN. Bodrek mempunyai konotasi, wartawan yang tidak punya media. Namun ada pula yang mengartikan, wartawan yang punya media, namun digunakan untuk memeras.
Sekian Semoga Paparan Singkat saya Terkait banyaknya Oknum Jurnalis yang Saat ini Dijuluki Penjilat Penguasa yang mana saat ini Cukuplah marak di Daerah – Daerah Khususnya Di Seputaran Tapal Kuda Jatim ini. Wassalam
Penulis by; Eko Febrianto Ketua Umum LSM SITI JENAR yang Juga Pimpinan Redaksi Media Online dan Cetak Headline.news.info dan Sitijenarnews.com
(Red/Tim-Biro Pusat Sitijenarnews.com dan Headline.news.info)