Pro dan Kontra Wacana Gerbong Merokok KAI: Antara Hak Perokok dan Regulasi Transportasi

Sitinenarnews.com Jakarta, Jum’at 22 Agustus 2025; Usulan Anggota DPR RI Fraksi PKB, Nasim Khan, agar PT Kereta Api Indonesia (KAI) menyediakan gerbong khusus bagi penumpang perokok terus bergulir dan memicu perdebatan sengit di ruang publik. Di satu sisi, ide tersebut disebut sebagai bentuk kepedulian terhadap jutaan penumpang yang merokok. Namun di sisi lain, ia dipandang bertentangan dengan aturan ketat kawasan tanpa rokok yang telah diterapkan dalam moda transportasi kereta api.

Menanggapi kontroversi yang melebar, Nasim Khan akhirnya menyampaikan klarifikasi terbuka. Ia meminta maaf jika pernyataannya menyinggung kelompok masyarakat yang selama ini konsisten memperjuangkan kawasan tanpa rokok. Menurutnya, gagasan itu muncul semata dari aspirasi yang berkembang di masyarakat.

“Sebagai anggota DPR, saya hanya menyampaikan apa yang saya dengar dari penumpang. Ada perokok yang merasa tidak terakomodasi saat bepergian jauh dengan kereta. Usulan gerbong merokok bukan berarti saya mendukung rokok, melainkan mencari titik temu agar hak perokok dan non-perokok bisa sama-sama dijaga,” ujar Nasim Khan.

Ia menambahkan, realitas di lapangan menunjukkan masih banyak penumpang yang nekat merokok sembunyi-sembunyi di toilet, sambungan antar gerbong, bahkan di pintu kereta. Menurutnya, kondisi ini justru lebih berbahaya dibandingkan menyediakan ruang khusus yang terisolasi dan dilengkapi teknologi ventilasi modern.

Sejak 2012, PT Kereta Api Indonesia (KAI) menegakkan aturan bahwa seluruh rangkaian kereta api adalah kawasan tanpa rokok. Kebijakan ini diperkuat dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 63 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kereta Api. Aturan tersebut menegaskan area stasiun, peron, ruang tunggu, hingga gerbong kereta harus bebas dari aktivitas merokok.

Kebijakan ini juga selaras dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengatur kewajiban pemerintah menyediakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Artinya, secara hukum, peluang menghadirkan gerbong merokok hampir tidak mungkin, kecuali ada revisi regulasi.

Baca juga:  PASUKAN SENYAP RIMBA PERHUTANI KPH BONDOWOSO AMANKAN PELAKU ILEGAL LOGGING

Namun, Nasim Khan menyebut bahwa usulannya tidak untuk melawan aturan. “Saya sepenuhnya menghormati keputusan Kemenhub dan KAI. Kalau memang tidak mungkin, tentu kita hormati. Tetapi jika ada ruang untuk uji coba terbatas, kenapa tidak kita bahas? Semua bisa diputuskan secara bijak,” katanya.

Mengutip data WHO tahun 2021, Indonesia memiliki sekitar 34,5 persen populasi dewasa yang merokok, atau setara 70,2 juta jiwa. Angka ini termasuk salah satu yang tertinggi di dunia. Kondisi itu menjadikan isu rokok selalu dilematis: di satu sisi menjadi masalah kesehatan publik yang serius, di sisi lain menyangkut mata pencaharian jutaan orang.

Bagi Nasim Khan, fakta ini tidak bisa diabaikan begitu saja. “Saya bukan antek pabrik rokok, tidak ada afiliasi, apalagi keuntungan dari industri rokok. Tetapi sebagai wakil rakyat, saya harus mendengar suara masyarakat, termasuk perokok. Kalau 70 juta orang tidak diberi ruang, pasti ada masalah sosial yang muncul,” tegasnya.

Selain menyuarakan aspirasi perokok, Nasim Khan juga menyinggung nasib petani tembakau. Ia menyebut bahwa di balik perdebatan soal rokok, ada jutaan petani yang hidup dari hasil tembakau. Selama ini mereka kerap merasa terpinggirkan dalam kebijakan nasional.

“Petani tembakau itu rakyat kecil. Mereka butuh didukung agar kehidupannya lebih baik. Kalau kebijakan hanya menekan tanpa solusi, siapa yang peduli dengan mereka? Saya hanya ingin semua pihak duduk bersama mencari keseimbangan antara kesehatan, aturan, dan kesejahteraan,” ujarnya.

Reaksi publik atas wacana gerbong merokok pun terbelah. Kelompok antirokok menilai usulan ini berbahaya karena melanggengkan konsumsi rokok di ruang publik. “Transportasi massal harus jadi contoh kawasan sehat. Kalau diberi gerbong merokok, itu kemunduran,” kata seorang aktivis kesehatan masyarakat.

Baca juga:  Rekonstruksi pembunuhan sopir taksi online,oleh anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Bripda HS. Akhirnya Selesai Digelar

Namun, sejumlah penumpang kereta justru menganggap ide itu realistis. Seorang pengguna kereta jarak jauh menuturkan, “Daripada ada yang merokok sembunyi-sembunyi di toilet, lebih baik ada ruang khusus. Itu lebih aman, lebih tertib, dan tidak mengganggu yang lain.”

Pada akhirnya, Nasim Khan menekankan bahwa DPR hanyalah ruang untuk menyalurkan aspirasi masyarakat. Keputusan tetap ada di tangan pemerintah, regulator, dan operator transportasi.

“DPR yang jelas tetap terbuka terhadap semua masukan. Kalau usulan ini tidak sesuai dengan regulasi, ya tentu tidak akan dilaksanakan. Tapi kalau ada ruang untuk kompromi, tentu harus kita kaji bersama. Yang terpenting adalah kepentingan publik tetap terjaga,” pungkasnya.

Keterangan fhoto: Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PKB, Nasim Khan

Dengan demikian, polemik gerbong merokok di KAI kini tidak hanya menjadi perdebatan teknis transportasi, tetapi juga refleksi dilema besar Indonesia: bagaimana menyeimbangkan hak individu, kepentingan kesehatan publik, dan keberlangsungan ekonomi rakyat kecil yang hidup dari industri tembakau.

(Red/Tim)

error: