Sitijenarnews.com Situbondo, Jawa Timur Rabu 29 Oktober 2029: Hujan yang mengguyur Kecamatan Besuki pada dini hari itu terdengar seperti biasa saja di awal musim hujan. Namun, sekitar pukul 01.00 WIB, suasana berubah mencekam ketika atap asrama putri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Syekh Abdur Qodir Jailani Ra tiba-tiba ambruk. Dalam hitungan detik, suara genteng pecah dan kayu patah menelan teriakan panik para santri yang sedang tertidur terlelap.

Sekitar Ada 19 santri putri di dalam asrama malam itu. Sebagian berlari menyelamatkan diri dalam kegelapan, sebagian lain tertimpa reruntuhan kayu dan atap yang jatuh mendadak. Saat hujan masih mengguyur, warga sekitar datang membantu mengevakuasi korban dengan peralatan seadanya, menembus puing-puing bangunan yang berserakan.
Pagi harinya, kabar duka pun menyebar cepat. Satu santri bernama Putri, asal Dusun Rawan, Desa Besuki, meninggal dunia setelah sempat dirawat di RSIA Jatimed. Ia mengembuskan napas terakhir sekitar pukul 06.00 WIB dan dimakamkan dua jam kemudian di kampung halamannya. Sementara 11 santri lainnya mengalami luka-luka—beberapa dirawat jalan, sebagian masih terbaring di rumah sakit akibat luka serius yang memerlukan tindakan tepat dari tenaga medis.
Runtuhnya bangunan itu memunculkan kepedihan yang sulit diterima, sekaligus membuka kembali luka lama bangsa ini: mengapa gedung-gedung pendidikan keagamaan yang menampung ratusan bahkan hingga ribuan jiwa santri di seluruh Indonesia, masih kerap runtuh tanpa ada kejelasan tanggung jawab?

Kasus ini langsung menarik perhatian luas publik, sebab baru saja beberapa waktu lalu masyarakat dikejutkan oleh tragedi Pondok Pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur, di mana bangunan pesantren ambruk dan menewaskan 67 orang. Dua peristiwa ini memiliki benang merah yang sama: lemahnya sistem pengawasan dan kelalaian struktural dalam pembangunan fasilitas pendidikan berbasis masyarakat.
Tragedi di Sidoarjo dulu bukan sekadar kesalahan teknis, tetapi akumulasi dari praktik kelalaian yang dinormalisasi pembangunan yang mengabaikan izin, pengawasan, dan standar keselamatan. Itu adalah bentuk kekerasan struktural: kejahatan yang tidak dilakukan dengan kekuatan fisik, tetapi lahir dari sistem sosial yang membiarkan masyarakat kehilangan hak dasar mereka atas rasa aman.
Padahal Kalau kita bercermin pada tragedi yang sudah terjadi itu, kebutuhan dasar yang absen sangat jelas: Tidak adanya kepastian perizinan (PBG) yang sah, tidak ada pengawasan konstruksi yang memadai, dan tidak ada perlindungan bagi pekerja dan penghuni bangunan.
Semua diabaikan atas nama efisiensi dan semangat gotong royong, padahal keselamatan manusia mestinya menjadi pondasi utama setiap pembangunan.

Menurut data Kementerian Pekerjaan Umum, dari sekitar 41.000 pondok pesantren di Indonesia, hanya 52 yang memiliki izin PBG.
Artinya, hampir seluruh bangunan pondok di negeri ini berdiri tanpa dokumen kelayakan struktural yang seharusnya wajib dimiliki.
Ini bukan sekadar angka statistik, tapi potret dari sebuah kegagalan sistemik dengan Skala nasional.
Masalahnya bukan hanya soal biaya, tapi juga tentang kerumitan birokrasi dan celah pungutan liar yang sudah lama mengakar dalam pengurusan izin.
Ketika izin dianggap mahal dan sulit, pembangunan akhirnya dijalankan dengan logika darurat: yang penting berdiri dulu, soal izin nanti.
Apalagi, jika tanah pondok merupakan tanah wakaf, proses perizinan menjadi semakin berbelit karena harus melewati dokumen tambahan yang kerap memakan waktu berbulan-bulan.
Nah Dari sinilah, lingkaran kelalaian itu mulai terbentuk.
Pengurus pesantren membangun dengan anggaran seadanya bahkan mengandalkan dari donasi masyarakat dan bantuan pemerintah.
Material dikurangi, kualitas diabaikan, pengawasan teknis dilewati.
Padahal di balik setiap dinding itu ada nyawa-nyawa santri yang menimba ilmu, hidup jauh dari orang tua, dan mempercayakan keselamatan mereka pada bangunan yang ternyata rapuh.
Ketika bangunan akhirnya roboh, seperti di Besuki dan Sidoarjo, pejabat baru datang membawa empati, data perizinan, dan janji penyelidikan.
Tapi pertanyaan paling mendasar tak pernah dijawab: siapa yang seharusnya memastikan gedung itu aman sebelum dibangun?
Tragedi seperti ini seharusnya menggugah kesadaran bahwa keselamatan bukanlah urusan birokrasi belaka, melainkan hak dasar setiap warga negara.
Namun selama sistem pembangunan kita masih menempatkan keamanan di urutan belakang, setiap asrama, kelas, dan masjid yang dibangun tanpa pengawasan adalah potensi musibah berikutnya.

Ironisnya, pesantren yang hidup dari “donasi umat” justru menjadi institusi yang paling rentan dieksploitasi.
Keinginan untuk segera memiliki fasilitas belajar yang layak sering membuat mereka menempuh jalan pintas.
Dan negara yang seharusnya hadir, justru hanya tampak setelah reruntuhan menelan korban.
Runtuhnya asrama di Besuki bukan semata tragedi lokal, tetapi potret nasional tentang bagaimana negara dan masyarakat masih gagal belajar dari luka yang sama.
Selama kita masih memisahkan antara “kecelakaan” dan “keputusan politik”, maka runtuhnya bangunan seperti ini akan terus berulang bukan karena badai, tapi karena sistem yang retak di dalamnya.
Kekerasan struktural itu tidak terjadi saat genteng jatuh dan dinding roboh.
Ia sudah dimulai jauh sebelumnya sejak fondasi tanggung jawab dan pengawasan publik dibiarkan keropos.

By: Eko Febrianto – Pimpinan Redaksi PT SITI JENAR GROUP MULTIMEDIA
(Redaksi/Tim Biro Siti Jenar Group Multimedia Situbondo, Jawa Timur)







