Sejenak ayo mengulas mengapa banyak kita jumpai Bupati Korup di Republik ini. Ada apa dengan negara ini. Mari kita simak ulasan lengkapnya di bawah ini

Keterangan Fhoto: Ketua Umum LSM Siti Jenar Saat Orasi Tangkap Bupati Situbondo bersama Ribuan Massa di Alun - alun Situbondo beberapa saat lalu

Sitijenarnews.com Situbondo Jatim Minggu 22 September 2024: Pemberitaan tentang korupsi seakan tak pernah berhenti mewarnai layar kaca dan ruang publik kita. Para pelaku korupsi adalah para pegawai atau pejabat pemerintahan yang menempati posisi strategis. Lantas kita jadi bertanya-tanya, hidup mereka sudah enak, gaji pastilah besar begitupula dengan segala macam tunjangan nya , semuanya sudah dimiliki, lalu kenapa masih saja korupsi?

Keterangan fhoto: Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto Direktur Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Saat Mengumumkan Penersangkaan Bupati Situbondo Bulan lalu.

Sebenarnya Apa sih penjabaran lengkap korupsi yang perlu kita pahami dan kita ketahui.?

Korupsi berasal dari bahasa Latin—salah satu bahasa kuno di Italia. Ada beberapa penyebutan: corruptio (kata benda) berarti hal merusak, corrumpere (kata kerja): merusak/menghancurkan, corruptor (kata benda): perusak/pelanggar; pelaku korupsi, dan corruptus-a-um (kata sifat): rusak/hancur.

Secara hukum, korupsi adalah tindak pidana melawan hukum sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Apa saja sih jenis korupsi?

Dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20/2011 tentang Pemberantasan Tipikor, terdapat 13 buah pasal yang membahas jenis-jenis korupsi. Korupsi dirumuskan menjadi 30 jenis, tapi pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi Beberapa jenis sebagai berikut:

1,Kerugian keuangan negara.

2,Suap-menyuap

Penggelapan dalam jabatan.

3,Pemerasan

Perbuatan curang

Benturan kepentingan (conflict of interest) dalam pengadaan, dan Gratifikasi itu sendiri.

Dan ada pula tindak pidana lain yang yang berkaitan Langsung dengan tindak pidana korupsi yang tertuang UU, antara lain:

1,Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi.

2,Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar.

3,Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka.

4,Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu

5,Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu.

6,Saksi yang membuka identitas pelapor.

Terbaru Mengenai Gaduh dan Viralnya Penersangkaan Atas Bupati Situbondo dan Kadis DPUPP Kabupaten Situbondo atas dugaan serentetan kasus Mega Korupsi dan Gratifikasi di Kabupaten Situbondo oleh KPK. Tak ayal kasus ini pun merebak kemana – mana terlebih Tim Penyidikan KPK Sampai Hari ini Masih Rutin datang ke Situbondo untuk melakukan serentetan pemeriksaan terhadap puluhan orang yang diduga terlibat dalam Prahara ini, mulai dari Kontraktor, ASN dll.

Wal hasil Publik Situbondo pun dibuat gerah dengan adanya kasus ini mengingat ini bukan kali pertama Bupati Situbondo Berurusan dengan KPK. yang mana sudah 2 Bupati yang telah berurusan dengan KPK mulai Kabupaten ini Berdiri.

Seperti diketahui. Bupati Situbondo Karna Suswandi menjadi Tersangka KPK atas dugaan kasus Gratifikasi yang mana kalau kita jabarkan Gratifikasi itu adalah pemberian dalam arti luas (dalam bentuk uang, barang, diskon, komisi, hadiah, dan sebagainya) oleh suatu pihak berkaitan dengan jabatan orang yang menerimanya.

Dan Kami di LSM SITI JENAR dan Tim Redaksi Sitijenarnews Group Multimedia banyak Mendapatkan Pertanyaan dari beberapa tokoh dan pengamat di Situbondo

Apakah ada gratifikasi yang tidak dilarang.?

Ini Pertanyaan Pertama yang Sering masuk Pada Kami dan Jawabannya kami adalah:

Semua bentuk gratifikasi yang berkaitan dengan jabatan dan dapat menimbulkan tanam budi pada pemberinya serta mempengaruhi penerima dalam membuat keputusan, hukumnya “dilarang” karena termasuk ke dalam jenis tipikor.

Berdasarkan Pasal 12B ayat (1) UU Nomor 31/1999 jo UU Nomor 20/2001, gratifikasi akan dianggap sebagai suap jika berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban serta tugasnya.

Namun, dalam Pasal 12C ayat (1) disebutkan bahwa gratifikasi tidak berlaku jika penerima segera melaporkannya ke KPK. Rentang waktu pelaporan gratifikasi adalah 30 hari sejak diterima oleh yang bersangkutan.

Keterangan fhoto: Penyidik KPK Obok-obok Pendopo dan Kantor Bupati Situbondo Karna Suswandi Akhir Bulan lalu.

Nah Pertanyaan kedua: Apa beda gratifikasi, suap, dan pemerasan?

Jawabannya: Gratifikasi memiliki ciri-ciri:

A,Tidak ada kesepakatan antar kedua belah pihak

B, Bersifat tanam budi, membuat pihak penerima merasa berhutang budi secara tidak langsung

C, Berhubungan dengan jabatan

D, Penerima bersifat pasif.

Suap-menyuap memiliki ciri-ciri:

Ada kesepakatan yang terbentuk dari kedua belah pihak

A, Dilakukan secara rahasia dan tertutup

B,Penerima dan pemberi sama-sama aktif

Pemerasan memiliki ciri-ciri:

Adanya permintaan secara langsung oleh penerima (penyelenggara jabatan)

A, Bersifat memaksa dan sering disertai ancaman

B, Adanya penyalahgunaan kekuasaan

C, Penerima bersifat aktif;

Nah Lantas Bagaimana membedakan gratifikasi dan hadiah biasa?

Kuncinya adalah siapa pemberinya. Jika orang yang memberi adalah seseorang yang pernah berhubungan bisnis maupun berkaitan dengan jabatannya, maka pemberian tersebut termasuk gratifikasi.

Selain itu, ada juga beberapa kriteria yang tergolong gratifikasi, yaitu:

1.Hadiah bernilai tinggi:

Atau Hadiah kecil yang terjadi secara berulang, seperti memberi voucher belanja secara berulang kali

Menggabungkan kepentingan bisnis atau jabatan

2,Pemberian hadiah berkaitan dengan pekerjaan:

Adanya fasilitas khusus yang diberikan pada pihak tertentu dan tidak diterima oleh pihak lainnya. Misalnya, penyediaan mobil dalam suatu acara untuk pihak A, sementara pihak B, C, dan lainnya tidak mendapatkan fasilitas tersebut.

Selama pemberian hadiah berada dalam batas yang wajar dan tidak berkaitan dengan jabatan, pekerjaan, kewenangan, serta tidak menimbulkan perasaan tanam budi, maka tidak termasuk ke dalam gratifikasi.

Biasanya alasan seseorang korupsi bisa beragam, namun secara singkat dikenal teori GONE untuk menjelaskan faktor penyebab korupsi. Teori GONE yang dikemukakan oleh penulis Jack Bologna adalah singkatan dari Greedy (Keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (Kebutuhan) dan Exposure (pengungkapan).

Teori GONE mengungkapkan bahwa seseorang yang korupsi pada dasarnya serakah dan tak pernah puas. Tidak pernah ada kata cukup dalam diri koruptor yang serakah. Keserakahan ditimpali dengan kesempatan, maka akan menjadi katalisator terjadinya tindak pidana korupsi. Setelah serakah dan adanya kesempatan, seseorang berisiko melakukan korupsi jika ada gaya hidup yang berlebihan serta pengungkapan atau penindakan atas pelaku yang tidak mampu menimbulkan efek jera.

Jika dijabarkan lagi, faktor penyebab korupsi meliputi dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Mengutip buku Pendidikan Antikorupsi, faktor internal merupakan penyebab korupsi dari diri pribadi, sedang faktor eksternal karena sebab-sebab dari luar.

Dan dalam Kesempatan ini Marilah kita bahas apa penyebab korupsi faktor internal dan eksternal ini:

Faktor Penyebab Internal

1. Sifat serakah/tamak/rakus manusia:

Keserakahan dan tamak adalah sifat yang membuat seseorang selalu tidak merasa cukup atas apa yang dimiliki, selalu ingin lebih. Dengan sifat tamak, seseorang menjadi berlebihan mencintai harta. Padahal bisa jadi hartanya sudah banyak atau jabatannya sudah tinggi. Dominannya sifat tamak membuat seseorang tidak lagi memperhitungkan halal dan haram dalam mencari rezeki. Sifat ini menjadikan korupsi adalah kejahatan yang dilakukan para profesional, berjabatan tinggi, dan hidup berkecukupan.

2. Gaya hidup konsumtif:

Sifat serakah ditambah gaya hidup yang konsumtif menjadi faktor pendorong internal korupsi. Gaya hidup konsumtif misalnya membeli barang-barang mewah dan mahal atau mengikuti tren kehidupan perkotaan yang serba glamor. Korupsi bisa terjadi jika seseorang melakukan gaya hidup konsumtif namun tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai.

3. Moral yang lemah:

Seseorang dengan moral yang lemah mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Aspek lemah moral misalnya lemahnya keimanan, kejujuran, atau rasa malu melakukan tindakan korupsi. Jika moral seseorang lemah, maka godaan korupsi yang datang akan sulit ditepis. Godaan korupsi bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahan, atau pihak lain yang memberi kesempatan untuk melakukannya.

Faktor Penyebab Eksternal;

1. Aspek Sosial:

Kehidupan sosial seseorang berpengaruh dalam mendorong terjadinya korupsi, terutama keluarga. Bukannya mengingatkan atau memberi hukuman, keluarga malah justru mendukung seseorang korupsi untuk memenuhi keserakahan mereka. Aspek sosial lainnya adalah nilai dan budaya di masyarakat yang mendukung korupsi. Misalnya, masyarakat hanya menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya atau terbiasa memberikan gratifikasi kepada pejabat.

Dalam means-ends scheme yang diperkenalkan Robert Merton, korupsi merupakan perilaku manusia yang diakibatkan oleh tekanan sosial, sehingga menyebabkan pelanggaran norma-norma. Menurut teori Merton, kondisi sosial di suatu tempat terlalu menekan sukses ekonomi tapi membatasi kesempatan-kesempatan untuk mencapainya, menyebabkan tingkat korupsi yang tinggi.

Teori korupsi akibat faktor sosial lainnya disampaikan oleh Edward Banfeld. Melalui teori partikularisme, Banfeld mengaitkan korupsi dengan tekanan keluarga. Sikap partikularisme merupakan perasaan kewajiban untuk membantu dan membagi sumber pendapatan kepada pribadi yang dekat dengan seseorang, seperti keluarga, sahabat, kerabat atau kelompoknya. Akhirnya terjadilah nepotisme yang bisa berujung pada korupsi.

2. Aspek Politik:

Keyakinan bahwa politik untuk memperoleh keuntungan yang besar menjadi faktor eksternal penyebab korupsi. Tujuan politik untuk memperkaya diri pada akhirnya menciptakan money politics. Dengan money politics, seseorang bisa memenangkan kontestasi dengan membeli suara atau menyogok para pemilih atau anggota-anggota partai politiknya.

Pejabat yang berkuasa dengan politik uang hanya ingin mendapatkan harta, menggerus kewajiban utamanya yaitu mengabdi kepada rakyat. Melalui perhitungan untung-rugi, pemimpin hasil money politics tidak akan peduli nasib rakyat yang memilihnya, yang terpenting baginya adalah bagaimana ongkos politiknya bisa kembali dan berlipat ganda.

Balas jasa politik seperti jual beli suara di DPR atau dukungan partai politik juga mendorong pejabat untuk korupsi. Dukungan partai politik yang mengharuskan imbal jasa akhirnya memunculkan upeti politik. Secara rutin, pejabat yang terpilih membayar upeti ke partai dalam jumlah besar, memaksa korupsi.

3. Aspek Hukum:

Hukum sebagai faktor penyebab korupsi bisa dilihat dari dua sisi, sisi perundang-undangan dan lemahnya penegakan hukum. Koruptor akan mencari celah di perundang-undangan untuk bisa melakukan aksinya. Selain itu, penegakan hukum yang tidak bisa menimbulkan efek jera akan membuat koruptor semakin berani dan korupsi terus terjadi.

Hukum menjadi faktor penyebab korupsi jika banyak produk hukum yang tidak jelas aturannya, pasal-pasalnya multitafsir, dan ada kecenderungan hukum dibuat untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu. Sanksi yang tidak sebanding terhadap pelaku korupsi, terlalu ringan atau tidak tepat sasaran, juga membuat para pelaku korupsi tidak segan-segan menilap uang negara.

4. Aspek Ekonomi:

Faktor ekonomi sering dianggap sebagai penyebab utama korupsi. Di antaranya tingkat pendapatan atau gaji yang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Fakta juga menunjukkan bahwa korupsi tidak dilakukan oleh mereka yang gajinya pas-pasan. Korupsi dalam jumlah besar justru dilakukan oleh orang-orang kaya dan berpendidikan tinggi.

Banyak kita lihat pemimpin daerah atau anggota DPR yang ditangkap karena korupsi. Mereka korupsi bukan karena kekurangan harta, tapi karena sifat serakah dan moral yang buruk.

Di negara dengan sistem ekonomi monopolistik, kekuasaan negara dirangkai sedemikian rupa agar menciptakan kesempatan-kesempatan ekonomi bagi pegawai pemerintah untuk meningkatkan kepentingan mereka dan sekutunya. Kebijakan ekonomi dikembangkan dengan cara yang tidak partisipatif, tidak transparan dan tidak akuntabel.

5. Aspek Organisasi:

Faktor eksternal penyebab korupsi lainnya adalah organisasi tempat koruptor berada. Biasanya, organisasi ini memberi andil terjadinya korupsi, karena membuka peluang atau kesempatan. Misalnya tidak adanya teladan integritas dari pemimpin, kultur yang benar, kurang memadainya sistem akuntabilitas, atau lemahnya sistem pengendalian manajemen.

Mengutip buku Pendidikan Antikorupsi oleh Eko Handoyo, organisasi bisa mendapatkan keuntungan dari korupsi para anggotanya yang menjadi birokrat dan bermain di antara celah-celah peraturan. Partai politik misalnya, menggunakan cara ini untuk membiayai organisasi mereka. Pencalonan pejabat daerah juga menjadi sarana bagi partai politik untuk mencari dana bagi kelancaran roda organisasi, pada akhirnya terjadi money politics dan lingkaran korupsi kembali terjadi.

Keterangan fhoto: Ketua Umum LSM SITI JENAR Eko Febrianto saat Berorasi tangkap Bupati Tersangka KPK Beberapa saat lalu

Teori Fraud Triangle (TFT):

Teori lainnya soal penyebab korupsi disampaikan oleh peneliti Donald R Cressey yang dikenal sebagai Teori Fraud Tiangle (TFT). Teori ini muncul setelah Cressey mewawancarai 250 orang terpidana kasus korupsi dalam waktu 5 bulan.

Dalam teori tersebut, ada tiga tahapan penting yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan korupsi, yaitu pressure (tekanan), opportunity (kesempatan), dan rationalization (rasionalisasi).

Seseorang memiliki motivasi untuk korupsi karena tekanan, misalnya motif ekonomi yang menjadi pelatuknya. Namun menurut Cressey tekanan ini terkadang tidak benar-benar ada. Seseorang cukup berpikir bahwa dia tertekan atau tergoda pada bayangan insentif, maka pelatuk pertama ini telah terpenuhi.

Kedua adalah kesempatan. Contoh yang paling mudah ditemui adalah lemahnya sistem pengawasan sehingga memunculkan kesempatan untuk korupsi. Menurut Cressey, jika dia tidak melihat adanya kesempatan maka korupsi tidak bisa dilakukan.

Ketiga adalah rasionalisasi. Cressey menemukan bahwa para pelaku selalu memiliki rasionalisasi atau pembenaran untuk melakukan korupsi. Rasionalisasi ini setidaknya menipiskan rasa bersalah pelaku, contohnya “saya korupsi karena tidak digaji dengan layak” atau “keuntungan perusahaan sangat besar dan tidak dibagi dengan adil”.

Nah Bagaimana peran serta masyarakat mencegah korupsi?.

Masyarakat pun bisa berperan aktif dalam upaya mencegah terjadinya korupsi, di antaranya pantang terlibat tindak pidana korupsi, berlatih untuk berintegritas, melaporkan tindak pidana korupsi, memperbaiki sistem, dan kampanye dan menyebarkan nilai integritas.

Semoga Paparan dan Edukasi Anti Korupsi diatas ini Bisa Bermanfaat.

Keterangan Fhoto: Ketua Umum LSM Siti Jenar Saat Orasi Tangkap Bupati Situbondo bersama Ribuan Massa di Alun – alun Situbondo beberapa saat lalu

Salam Anti Korupsi. By : Ketua Umum LSM SITI JENAR Yang Sekaligus Komisaris Direktur PT SITI JENAR GROUP MULTIMEDIA Eko Febrianto.

(Red/Tim-Biro Pusat Sitijenarnews group multimedia)

error: