Sitijenarnews.Com Situbondo Jatim Rabu 11 Mei 2022; NAMA BESAR Artidjo Alkostar sudah jadi legenda dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Mantan Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung yang tutup usia pada Februari tahun lalu itu dikenal dengan julukan algojonya Para koruptor.
Artidjo tidak segan-segan menambah hukuman para koruptor. Selama 18 tahun bertugas dan menangani lebih dari 19 ribu perkara, Artidjo konsisten membuktikan ucapannya untuk selalu berkhidmat pada keadilan.
Jejak Artidjo itu semestinya ialah standar yang harus diikuti para penerusnya sebab tantangan penindakan korupsi semakin berat. Berdasarkan data yang dikumpulkan Indonesia Corruption Watch (ICW), penindakan kasus korupsi selama enam bulan awal 2021 mencapai 209 kasus. Periode yang sama pada tahun sebelumnya terdapat 169 kasus.
Sementara itu, nilai kerugian negara pada semester I 2020 sebesar Rp18,173 triliun kemudian pada semester I 2021 mencapai Rp26,83 triliun. Dengan kata lain, kenaikan nilai kerugian negara akibat korupsi sebesar 47,6%. Dalam empat tahun belakangan, ICW menyebut nilai kerugian negara selalu menunjukkan tren peningkatan, sedangkan angka penindakan kasus korupsi fluktuatif.
Fluktuasi penindakan, salah satunya, bisa dipahami karena krisis hakim ad hoc yang telah terjadi setahun ini, seiring dengan pensiunnya lima hakim hakim ad hoc tipikor. Karena itu, MA hanya mengandalkan tiga hakim ad hoc tipikor tingkat kasasi/peninjauan kembali (PK). Padahal, jumlah perkara mencapai ratusan.
Persoalan jumlah itu pun tampaknya belum akan terselesaikan lewat proses seleksi hakim ad hoc tipikor yang saat ini berlangsung. Komisi Yudisial hanya mengirimkan delapan nama calon hakim agung dan tiga hakim ad hoc tipikor untuk tingkat kasasi dan PK kepada pimpinan DPR.
Ketiga calon hakim ad hoc tipikor yang diajukan ialah Agustinus Purnomo Hadi (hakim ad hoc tipikor PT Makassar), Arizon Mega Jaya (mantan hakim ad hoc tipikor PN Palembang), dan Rodjai S Irawan (hakim ad hoc tipikor PT Mataram).
Minimnya jumlah nama tersebut memang bukan berarti kesalahan KY. Kualitas calon hakim jelas harus diutamakan ketimbang mengejar kuantitas semata. Bahkan seperti yang dilakukan Artidjo saat menjadi pansel hakim ad hoc tipikor pada 2018, proses seleksi diperketat setelah sejumlah hakim tipikor ikut terjaring dalam kasus korupsi. Akibatnya, pernah pula panitia yang dipimpin Artidjo hanya meluluskan satu calon.
Masih lemahnya kualitas para calon pun terlihat dalam seleksi kali ini. Dalam tahap wawancara yang digelar KY pada April lalu, banyak calon yang tidak mampu menjawab substansi pertanyaan. Bukan saja integritas yang diragukan, melainkan juga kejernihan dalam melihat penindakan korupsi tampak lemah.
Segala fakta itu sesungguhnya menunjukkan pekerjaan besar dalam kualitas dan kuantitas para pengadil di negeri ini. Tiga kriteria utama bagi profesionalitas seorang hakim nyatanya masih hal yang sulit didapat.
Kriteria knowledge berarti hakim harus memiliki pengetahuan yang luas dan harus bisa memberi argumentasi hukum. Kriteria skill atau keahlian terkait dengan jam terbang dan kapasitas teknis menerapkan hukum. Sementara itu, kriteria ketiga ialah integritas moral atau kejujuran.
Kriteria terakhir itu dapat dikatakan tersulit karena memang bukan produk sekolahan. Kriteria terakhir hanya bisa dimiliki jika dihidupkan sendiri oleh yang bersangkutan.
Hal Ini menjadi tantangan besar yang harus bisa diupayakan bersama. Upaya menjemput bola, di luar hakim karier, patut lebih dimaksimalkan.
Nah. Kita Kembali Kepada Kisah sang Pahlawan Pembasmi Koruptor yang sangat ditakuti di Indonesia. Dr. Artidjo Alkostar, SH, MH. putra asli Situbondo Jatim dan Berikut Dibawah ini adalah Profil Lengkap Dr. Artidjo Alkostar, SH, MH.
Beliau adalah seorang pengacara, hakim, dan akademisi hukum Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Hakim Agung dan Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung RI di mana ia terkenal karena vonisnya yang cenderung memperberat hukuman terhadap terpidana kasus korupsi dan dissenting opinion yang ia keluarkan dalam beberapa perkara besar. Pada akhir hayatnya, ia menjabat sebagai anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan korupsi periode 2019-2023.
Artidjo memang tidak sekadar bicara soal integritas. Ia menjadi bukti seorang penegak hukum yang berintegritas, sehingga masyarakat luas mencalonkannya sebagai hakim agung. Yaitu Berdasarkan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945, 11 orang calon Hakim Agung tersebut disampaikan kepada DPR guna mendapatkan persetujuan dan selanjutnya akan ditetapkan menjadi Hakim Agung oleh Presiden
Saat masih sebagai pengacara, mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta itu tercatat sering menangani perkara berisiko Tinggi.
Artidjo Alkostar Lahir di salah satu kecamatan kecil di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, pada 22 Mei 1949 lalu, Artidjo Alkostar sendiri sudah mulai dikenal publik secara luas sebagai seorang hakim yang tegas pada kasus-kasus yang melibatkan nama-nama besar. Seakan tak memiliki rasa takut, tidak sedikit orang-orang penting yang divonis berat akibat kejahatan yang dilakukannya. Setidaknya tercatat sejumlah lebih dari 19.000 berkas perkara sudah ditangani selama ia berkarir di dunia hukum.
Artidjo Alkostar menyelesaikan pendidikan S1 nya di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, dan kemudian melanjutkan studi di Northwestern University, Chicago.
S2 Artidjo Alkostar mengambil program program Master of Laws. Pensiun dari jabatannya sebagai hakim agung pada 2018 lalu, ia kemudian dipercaya sebagai anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi.
KARIER Artidjo Alkostar
Secara singkat, Artidjo Alkostar juga memiliki karier yang cukup brilian. Dimulai pada tahun 1981 ketika ia menjadi Wakil Direktur LBH Yogyakarta, kemudian menjabat Direktur LBH Yogyakarta pada 1983. Namanya juga pernah tercatat sebagai Pengacara Human Right Watch divisi Asia, New York, pada tahun 1989. Dari tahun 1991 hingga 2000, ia aktif di Artidjo Alkostar and Associates.
Artidjo Alkostar juga aktif di ranah pendidikan dengan menjadi tenaga pengajar di Fakultas Hukum dan Pascasarjana UII hingga tahun 2016 lalu. Ia kemudian dipercaya sebagai Hakim Mahkamah Agung RI pada tahun 2000 hingga 2016, dan kemudian menjadi Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung RI pada 2014 hingga 2016. Karir terakhirnya adalah tercatat sebagai anggota Dewas KPK RI.
Masa kecil
Artidjo Alkostar lahir di Situbondo, Jawa Timur, ayah dan ibunya berasal dari Sumenep Madura. Ia menamatkan pendidikan SMA di Asem Bagus, Situbondo. Kemudian, masuk Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta.
Nah Akankah Generasi Muda Situbondo atau Putra Asli Kelahiran Situbondo Jawa Timur Kelak akan ada yang Seperti Beliau.?dengan Berkiprah sebagai Tokoh Dari Desa yang sangat Ditakuti Koruptor Se Indonesia ini? . Wallahu a’lam bishawab.
Sekian Semoga Secuil Kisah Tokoh Besar panutan para penegak Hukum Yang Jujur. Asal kabupaten Situbondo Jatim Ini Bisa Menginspirasi Kita Sekalian dimana pun Kita Berada. Wassalam
Penulis By; Eko Febrianto Ketua Umum LSM Siti Jenar yang Juga Pimpinan Perusahaan dan Redaksi Sitijenarnews.Com Serta Headline, News.Info
(Red/Tim-Biro Pusat Sitijenarnews dan Headline.News.Info)