Sitijenarnews.com Surabaya Jatim Sabtu 26 Juli 2024: Gregorius Ronald Tannur Akhirnya divonis bebas dalam perkara pembunuhan Dini Sera Afrianti di persidangan Pengadilan Negeri Surabaya pada Rabu (24/7/2024) Kemarin. Putusan bebas terhadap anak mantan anggota DPR-RI dari Fraksi PKB, Edward Tannur, ini menjadi perhatian dan Sorotan keras publik atas kasus yang menewaskan Dini Sera Afrianti tahun lalu itu.
Dini Sera Afrianti meninggal dunia usai diduga dianiaya oleh kekasihnya, Ronald Tannur, anak dari anggota DPR RI asal Nusa Tenggara Timur (NTT), Edward Tannur. Dugaan penganiayaan itu terjadi di tempat karaoke Blackhole KTV Surabaya pada Rabu (4/10/2023) dini hari.
Korban meninggal dunia pada usia 29 tahun. Selama hidupnya, Dini cukup aktif menggunakan sosial media TikTok. Ia kerap mengunggah video curhatan melalui akun TikTok-nya @bebyandine.
Dihimpun dari berbagai sumber oleh Tim Awak Media ini, Dini Sera Afrianti dulunya tinggal di salah satu apartemen di Surabaya. Diketahui Pada 2015 lalu ia sempat bekerja sebagai pelayan di salah satu tempat hiburan malam yang berlokasi dekat kantor TVRI.
Dan pada 2017, Dini Sera Afrianti menjadi pemandu karaoke di tempatnya bekerja. Setahun kemudian, ia berhenti bekerja dari tempat hiburan malam tersebut. Menurut informasi yang beredar, saat itu Dini Sera Afrianti mulai menjalin hubungan dengan Ronald Tannur.
Beberapa jam sebelum meninggal dunia, Dini Sera Afrianti sempat mengunggah video TikTok dengan keterangan yang menunjukkan hubungan tidak harmonis dengan sang kekasihnya tersebut.
Tidak lama setelah mengunggah video tersebut, Dini Sera Afrianti meninggal dunia dengan banyak luka lebam pada paha bagian kiri, lengan sebelah kanan, dan sejumlah luka lecet lainnya di beberapa bagian tubuh.
Dini Sera Afrianti dinyatakan meninggal dunia karena diduga dianiaya sang kekasih. Tak hanya itu, pada bukti rekaman CCTV sudah terlihat jelas bahwa Ronald menganiaya Dini sampai tak sadarkan diri dan dilindas mobil Kemudian, jenazah Dini Sera Afrianti dibawa pulang ke kampung halamannya dan tiba rumah di duka dua hari setelah kematiannya yaitu pada Tahun lalu tepatnya pada Jumat (6/10/2023).
Putusan inipun akhirnya memantik reaksi kekecewaan dan kemarahan dari pihak Dini. Keluarga Dini di Sukabumi kecewa dengan putusan tersebut, sementara pengacara Dini bakal melaporkan majelis hakim ke Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY).
Dalam perjalanan kasus ini, memang pihak keluarga memiliki keraguan kalau Ronald bakal dihukum berat, sebab melihat bahwa keluarga Ronald merupakan orang berduit.
Vonis bebas Ronald menambah rasa pahit yang diterima keluarga Dini. Pasalnya, berita itu diterima saat keluarga tengah berkumpul untuk acara tahlilan 100 hari meninggalnya ibu Dini, Tuti Herawati.Mereka merasa vonis itu wujud matinya keadilan di Indonesia.
Bagaimana orang yang mengalami kekerasan seperti ini bisa meninggal dikatakan hanya sakit lambung dalam pertimbangan hakim. Bukti ini juga diperkuat dengan visum et repertum yang di mana kami tim kuasa hukum menjaga otopsi korban di RSUD dr Soetomo,”pungkasnya saat dihubungi oleh Tim Awak media Sitijenarnews Biro Surabaya Jatim Siang ini Sabtu 26 Juli 2024.
Sementara Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar mengatakan, majelis hakim beralasan tidak adanya saksi di kasus tersebut menjadi alasan vonis bebas.
“Hakim tidak melihat ini secara holistik, tapi hakim justru melihat sepotong-potong,” kata Harli saat ditemui awak media di Kejagung, Kamis (25/7).
Menurut Harli, seharusnya majelis hakim mempertimbangkan fakta lain yang muncul di persidangan.
“Mempertimbangkan misalnya fakta yang menyatakan ada korban meninggal, ada hubungan antara korban dan pelaku, pada waktu yang bersamaan korban dan pelaku itu bersama-sama, ada cek-cok, ada bukti CCTV yang menggambarkan bahwa korban ada bekas terlindas, ada visum et repertum yang menjelaskan bahwa ada luka yang dialami oleh korban,” ujar Harli.
Kejaksaan Negeri (Kejari) akan mengajukan kasasi terhadap putusan ini.
“Kami menyatakan akan melakukan langkah upaya hukum yaitu berupa kasasi,” kata Kasi Intelijen Kejari Surabaya, Putu Arya Wibisana, Kamis Kemarin (25/7).
Tentunya nanti akan kami lakukan langkah ini mengingat jangka waktunya itu adalah kurang lebih 14 hari. Tapi kami langsung menyatakan pada hari ini akan melakukan kasasi melakukan langkah-langkah tersebut,” pungkasnya.
Senada juga diungkapkan oleh Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof Nur Basuki Minarno menyebut putusan vonis hakim PN Surabaya itu tidak berdasar hukum.
Menurut pendapat saya, putusan pengadilan negeri pada fakta-fakta yang ada di dalam persidangan, itu tidak berdasar hukum,” kata Prof Basuki dihubungi tim Awak Media ini di Surabaya, Kamis (25/7)
Dia menerangkan maksud dari tidak berdasarkan hukum itu karena ada bukti-bukti dalam persidangan yang disuguhkan oleh jaksa penuntut umum (JPU), telah dikesampingkan majelis hakim yang menyidangkan perkara Pembunuhan Tersebut.
Menurut dia, salah satu yang dikesampingkan majelis hakim adalah terkait dengan hasil visum et repertum oleh ahli yang telah disumpah sebelum memberikan keterangan atas keahliannya.
Kalau kemudian dikesampingkan seperti itu tanpa ada dasar yang kuat, tentu keliru dalam membuat putusan. Berarti salah dalam penerapan hukumnya,” ujar dia.
Prof Basuki juga mengatakan bila melihat dalam surat dakwaan JPU, ada empat pasal yang menjadi dasar dakwaan. Yaitu, Pasal 338 KUHP, Pasal 351 Ayat 3 KUHP, Pasal 359 KUHP, dan 351 Ayat 1 KUHP.
Yang perlu diketahui, dari ketiga pasal itu adalah, korbannya meninggal dunia, sedangkan kalau Pasal 351 Ayat 1 itu terkait dengan Penganiayaan Biasa.
Lah, empat pasal itu kalau di dalam KUHP namanya delik materiil, yaitu yang dilarang adalah akibatnya. Oleh karena itu, dalam persidangan harus dibuktikan adanya hubungan langsung antara perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa dengan matinya korban atau penganiayaan yang diderita oleh si korban. Harus ada hubungan langsung,” tuturnya.
Dalam perkara ini, kata Prof Basuki, JPU sudah mencoba upaya maksimal dengan mengajukan alat bukti dan barang bukti yang memperkuat bahwa matinya korban itu karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak terdakwa, baik saksi, CCTV maupun visum et repertum.
Saya membaca dari beberapa media, hasil visum et repertum dinyatakan bahwa matinya korban itu disebabkan hatinya mengalami pendarahan yang disebabkan benda tumpul,” ungkapnya.
Dia menyebut di dalam visum memang tidak menyebutkan pelakunya. Visum hanya menerangkan mengapa korban meninggal dunia, atau penyebab korban kehilangan nyawa, sehingga dalam visum et repertum itu tidak bisa menunjuk orang.
Oleh sebab itu, untuk membuktikan siapa pelakunya maka JPU harus menggunakan alat bukti lain. Dia lantas kembali mencontohkan, jaksa sudah mengajukan alat bukti CCTV serta mengajukan saksi.
Itulah yang akan membuktikan bahwa si terdakwa itu adalah pelakunya, sehingga si korban meninggal dunia,” ucapnya.
Dirinya melihat dalam perkara ini bisa jadi kurang saksi, tetapi Prof Basuki menegaskan bahwa dalam perkara tersebut saksinya adalah antara pelaku dengan korban saja.
Dalam kasus ini, korban pun sudah meninggal dunia, sehingga hanya pelaku saja yang mengetahui secara persis apa yang terjadi.
“Jaksa sudah menunjukkan adanya CCTV. Memang di dalam perkara ini kurang saksi. Barangkali saksinya itu antara pelaku dan korban, di mana korban sudah meninggal dunia, sehingga pertanyaannya, siapa pelakunya yang menyebabkan korban mengalami seperti diterangkan di visum,” kata Basuki menjelaskan.
Meski visum tidak bisa menunjukkan siapa pelakunya, tetapi Rekaman CCTV dan kronologi perkara menyebut tidak ada pelaku lain selain terdakwa.
“Dari visum tadi yang tidak bisa menunjuk siapa pelakunya, tetapi dari CCTV kemudian kronologi perkara, kan, tidak ada pelaku lain selain si terdakwa. Karena di dalam keterangannya itu diterangkan, sebelumnya antara terdakwa dengan si korban telah mengalami cekcok,” katanya.
Soal pertimbangan hakim yang menyebutkan kematian korban disebabkan oleh alkohol, Prof Basuki pun mempertanyakan dasar hukum yang dipakai oleh majelis hakim.
Apakah memang ada ahli yang menerangkan untuk itu atau tidak. Atau setidaknya ada dokter yang barangkali pernah merawat si korban bahwa Dini itu sebelumnya menderita penyakit tertentu sehingga kalau dia minum alkohol menyebabkan matinya si korban.
“Ini ada atau tidak? Kalau ini tidak pernah terungkap di persidangan, kemudian majelis hakim menyatakan bahwa matinya korban bukan karena atas perbuatan terdakwa tetapi karena minuman keras, menurut saya tidak berdasar,” ujarnya.
Soal upaya jaksa yang melakukan upaya hukum kasasi dianggapnya sebagai langkah yang tepat. Dia bahkan memberikan saran agar pihak kejaksaan sebagai wakil dari korban, mendalilkan bahwa putusan bebas itu adalah putusan bebas yang tidak murni.
Dengan salah satu alasannya adalah PN Surabaya memutus perkara ini ada kesalahan di dalam penerapan hukumnya.
Sekedar diketahui Almarhumah Dini Sera Afrianti (29) merupakan pahlawan ekonomi yang bekerja keras demi membiayai keluarganya. Ibu dari seorang anak berusia sekitar 12 tahun itu kehilangan nyawa di tangan kekasihnya. Namun, alih-alih dihukum berat, pelaku justru dibebaskan dari segala dakwaan.
Nama Dini mencuat pada awal Oktober 2023 lalu. Dia merupakan korban pembunuhan yang dilakukan oleh kekasihnya, yang Seorang Anak politisi papan atas dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang juga mantan anggota DPR RI itu diduga kuat telah menganiaya dan melindas Tubuh Dini dengan Mobilnya Hingga Menyebabkan Almarhum Meninggal dunia.
Inilah Contoh Kecil daripada banyak kasus Bobroknya Penegakan hukum dan menjamurnya Mafia Peradilan di Republik Indonesia.
(Red/Tim-Biro Sitijenarnews Biro Surabaya Jatim)